Jemaatmula-mula merupakan jemaat sederhana, sedangkan jemaat masa kini adalah jemaat yang kompleks. Jemaat perdana tidak ada gadget dan internet yang karenanya membuat orang makin selfish. Jemaat perdana, belum mengenal konflik ideologis antara kapitalis versus komunis, liberal versus komunitarian, modernism versi posmo, dst. Perbedaan Antara Gereja Katolik dan Gereja Protestan Pengarang Robert Simon Tanggal Pembuatan 20 Juni 2021 Tanggal Pembaruan 10 Juni 2023 Video Se-IMAN tapi TAK Se-AMIN? Perbedaan Kristen Katolik & Kristen Protestan yg wajib diketahui Isi Gereja Katolik vs Gereja Protestan Lebih lanjut tentang Gereja KatolikLebih lanjut tentang Gereja ProtestanApa perbedaan antara Gereja Katolik dan Gereja Protestan? Perbedaan antara Gereja Katolik dan Gereja Protestan dapat dilihat dari praktik dan kepercayaan masing-masing gereja. Baik Katolik maupun Protestan adalah agama yang memiliki pengikut atau pemeluk agama terbanyak di seluruh dunia. Keduanya percaya kepada Yesus dan kematian-Nya di kayu salib untuk dosa-dosa kita. Ada banyak perbedaan yang terjadi di sepanjang kedua agama yang membingungkan banyak orang tentang siapa yang mengatakan kebenaran. Pada akhirnya, Anda tidak bisa mengatakan yang satu ini mengatakan yang sebenarnya karena kedua agama memiliki keyakinan dan fakta yang kuat untuk mendukung keyakinan mereka. Kedua agama telah mencoba selama bertahun-tahun untuk menemukan kesamaan, tetapi keduanya memiliki keyakinan dan keyakinan yang kuat bahwa yang satu tidak dapat mengubah yang lanjut tentang Gereja KatolikGereja Katolik memiliki sejarah yang kaya dan penuh warna yang berlangsung selama beberapa dekade. Para rasul dan petobat Kristen telah melakukan perjalanan ke seluruh dunia untuk menyebarkan firman Tuhan dan dalam melakukannya, menyebarkan agama Katolik. Agama menyebar dengan cepat seperti api, dan kepercayaan utama mereka adalah bahwa gereja didirikan oleh Yesus Kristus. Gereja telah mengalami banyak pergumulan selama hari-hari awal Kekristenan dan karenanya berkurang selama pengesahan gereja oleh Kaisar Konstantin I. Gereja Katolik percaya bahwa hari Minggu adalah hari pertama ibadah, oleh karena itu, Minggu hingga hari ini dianggap sebagai hari pertama. dalam seminggu. Karena Kekristenan mula-mula diorganisir secara longgar, hal itu menghasilkan penafsiran yang berbeda tentang firman Tuhan. Gereja Katolik Our Lady of LimerickDalam hal otoritas, Gereja Katolik percaya pada firman Tuhan melalui Alkitab dan tradisinya. Mereka percaya bahwa banyak doktrin Gereja Katolik sama mengikatnya dengan doktrin firman Tuhan. Umat ​​Katolik percaya pada api penyucian, berdoa kepada orang-orang kudus, memuja dan menyembah Maria, ibu Kristus. Meskipun hampir semua praktik itu tidak memiliki dasar yang signifikan di dalam Alkitab, umat Katolik percaya bahwa baik Alkitab maupun tradisi memainkan peran penting dalam keselamatan umat lanjut tentang Gereja ProtestanGereja Protestan dimulai pada akhir tahun 1500-an. Mereka sebenarnya adalah bagian dari Gereja Katolik ketika mereka memutuskan untuk berpisah dari gereja. Pemisahan tersebut disebabkan oleh perbedaan keyakinan dan tafsir. Mereka percaya bahwa gereja melakukan sesuatu yang salah dengan praktik dan ajaran mereka. Mereka memprotes perbuatan gereja dan percaya bahwa satu-satunya sumber hikmat adalah Alkitab dan bukan tradisi dan sejarah individu. Kelompok pemrotes ini membangun gereja mereka sendiri dan mengajar dengan cara yang mereka anggap benar dan jujur. Gereja Protestan Metodis Pertama di SeattleDalam hal otoritas, Protestan percaya bahwa hanya Alkitab yang memiliki otoritas atau yang mereka sebut "Sola Scriptura". Mereka percaya bahwa hanya firman Tuhan yang harus menjadi satu-satunya sumber iman kita, dan tradisi itu tidak penting. Mereka tidak menyembah Perawan Maria karena dia hanyalah ibu jasmani Kristus. Umat ​​Protestan percaya bahwa ada kitab-kitab dalam Alkitab Katolik yang tidak diberkati oleh Tuhan menjadi firman-Nya oleh karena itu harus perbedaan antara Gereja Katolik dan Gereja Protestan?• Baik Gereja Katolik maupun Gereja Protestan percaya pada firman Tuhan melalui Alkitab.• Perbedaan utama adalah Gereja Katolik percaya pada tradisi dan doktrin sedangkan Gereja Protestan tidak mempercayai itu. • Umat Katolik percaya pada api penyucian, berdoa kepada orang-orang kudus, dan menyembah Maria. Protestan tidak percaya pada itu dan bagi mereka Maria hanyalah ibu fisik Yesus.• Gereja Protestan juga percaya bahwa beberapa kitab dalam Alkitab Katolik tidak diberkati oleh Tuhan. Karenanya, buku-buku itu dihapus dari Alkitab Protestan.• Di Gereja Katolik, perempuan tidak bisa menjadi pendeta, tapi bisa menjadi biarawati. Di Gereja Protestan, wanita tidak diperbolehkan menjadi bagian dari klerus. Namun, mereka dapat mengajar dan bekerja di bidang lain.• Hari-hari suci bagi Gereja Katolik adalah Natal, Prapaskah, Paskah, Pentakosta, dan Hari Raya Orang Suci. Hari-hari suci Gereja Protestan adalah Natal dan Paskah.• Gereja Katolik percaya pada semua nabi yang ada di dalam kitab-kitab dari Kitab Suci. Gereja Protestan memiliki keyakinan yang sama. Namun, Gereja Protestan juga menganggap Muhammad sebagai nabi terjadi banyak diskusi panas antara kedua kelompok agama tersebut. Ada lebih banyak perbedaan yang bisa dikutip karena keduanya memperjuangkan apa yang mereka yakini benar dan benar. Intinya di sini adalah iman Anda. Terlepas dari kelompok agama mana Anda berafiliasi, semuanya bermuara pada keyakinan pribadi Anda. Apakah Anda percaya pada makhluk tertinggi atau orang nyata yang dikorbankan di kayu salib untuk keselamatan kita, iman Anda harus berdiri CourtesyGereja Katolik Our Lady of Limerick oleh Ian Poellet CC BY-SA 3. 0Gereja Protestan Metodis Pertama Seattle oleh Joe Mabel CC BY-SA 3. 0

SEJARAHGEREJA MULA-MULA. Sebelum Yesus naik ke surga, Ia memberikan perintah kepada para murid-Nya untuk pergi ke Yerusalem dan menunggu di sana sampai Roh Kudus dicurahkan ke atas mereka. Dengan kuasa yang diberikan Roh Kudus itu Yesus berjanji akan memperlengkapi murid-murid-Nya untuk menjadi saksi-saksi, bukan hanya di Yerusalem tapi juga

Kesulitan Gereja pada Masa SekarangDaftar Tantangan Gereja pada Masa Kini1. Tantangan Eksternal2. Tantangan Internal3. Tantangan IndividualismeCara Melakukan Transformasi HatiKesulitan Gereja pada Masa – Tantangan gereja masa kini. Saat ini kita telah hidup di zaman yang jauh berbeda dengan zaman ketika Alkitab diturunkan. Pertanyaan yang kerap muncul adalah apakan Alkitab tetap relavan?Jawabannya sudah pasti ya, sebab Alkitab memang ditulis agar bisa digunakan oleh umat manusia sebagai petunjuk hidup yang kekal dan abadi. Pastinya, apa yang ditulis di Alkitab relevan hingga masa mungkin kesulitannya adalah ada beberapa tantangan gereja yang kerap terjadi sehingga keyakinan-keyakinan dan nilai mereka dalam menjawab tantangan logis masa kini kerap tidak garis besar ada berbagai jenis tantangan dalam gereja di masa kini, mulai dari tantangan eksternal, internal, dan individualisme. Tapi mungkin tak banyak yang menyadarinya sehingga tidak dari itu pada kesempatan ini kami ingin menjelaskan dan membagikan kumpulan daftar hal-hal yang menjadi tantangan gereja di masa sekarang. Anda bisa menyimak ulasan lengkapnya di bawah Tantangan Gereja pada Masa KiniBerikut di bawah ini adalah sejumlah tantangan dalam gereja yang mungkin tidak kita sadari lengkap dengan cara mengatasinya. Simak ulasannya pada pembahasan di Tantangan EksternalZaman postmodern pada masa sekarang telah berperan banyak untuk menghidupkan moralitas baru dengan standar pribadi, seperti jalinan sesama dan poligami. Standar tersebut bahkan tampak menjadi agama baru menggantikan kekristenan. Hal ini bertentangan bersama rencana Tuhan di dalam penciptaan Manusia Kejadian 218.Banyak pula propaganda, isu radikalisme agama, seperti propaganda, maupun beragam gerakan yang dijalankan oleh sekelompok orang yang tega melakukan tindakan ekstrim. Hal ini seolah-olah menyudutkan tiap-tiap gereja. Ini juga menghidupkan tanda-tanda intoleransi dan fanatisme agama serta ekslusivisme yang terlalu berlebih di dalam jalinan sosial keagamaan di ini, banyak pemuda–pemudi Kristen mudah terjerat pada kesesatan informasi, provokasi, dan berita palsu yang menjadi viral di sarana sosial. Sehingga mereka sanggup menjadi sasaran utama rekrutmen grup radikal yang mengembangkan jaringan, sebagai berikutMaraknya beragam ajaran sesat dan bidat yang memiliki aliran-aliran sesat, seperti Gnostik, Mormonisme, Christian Science, Saksi Yehova dan sebagainya. Hal ini bertentangan bersama peringatan Yesus pada murid-muridNya Matius 243-14; 1 Timotius 13; Roma 1617Penganiayaan pada orang-orang Kristen dianggap sebagai antisosial dan penyebab kerusuhan. Seperti yang dikisahkan berkenaan penganaiyaan pada Stefanus martir Kristen dan sejumlah jemaat Yerusalem Kisah Para Rasul 754-83.Manusia yang tambah pintar dan hidup jadi seakan-akan tidak ulang perlu Tuhan. Hal ini bertentangan bersama tekad Allah Roma 1216 “tetapi arahkanlah dirimu kepada perkara-perkara yang sederhana. Janganlah menganggap dirimu pandai!”.Kehampaan hidup seringkali terjadi, meski diisi bersama beragam kecanggihan peradaban dunia. Contohnya adalah banyak gereja mencerminkan dunia bersama secara pragmatis menghalalkan segala cara. Hal berikut bertentangan bersama jemaat di Sardis udah menjaga reputasi mereka bersama langkah kompromi Wahyu 34-6.2. Tantangan InternalPerpecahan gereja karena persoalan uang, beda penafsiran, perbedaan keperluan grup dan sebagainya 1 Korintus 3 3. Perpecahan harus berjalan untuk menyaksikan siapakah yang tahan uji. Tetapi, jangan hingga kitalah yang menjadi sumber perpecahan itu. Kita harus ingat memang Yesus tidak berharap perpecahan Matius 1225.3. Tantangan IndividualismeKadang manusia sangat sibuk dengan dunianya, contohnya adalah generasi milenial sering tergantung pada dunia maya. Sehingga gadget sudah menjadi berhala’ jenis baru. Terlihat berasal dari tiap-tiap jemaat jarang mempunyai printed bible karena Alkitabnya udah menjadi digital bible di HP atau lebih menyedihkan selama kebaktian berlangsung, mereka selamanya bermain sarana sosial, seperti Facebook, Instagram, dan sebagainya. Inilah permulaan hedonisme dan materialisme yang sering dijalankan oleh orang Kristen Yakobus 41-56; 1 Yohanes 2 15-17.Tidak tersedia kasih persaudaraan yang pengaruhi kompetisi individu apalagi antar bangsa. Contohnya adalah perzinahan dan perceraian. Banyak yang tidak pikirkan pada sesama dan tidak berkomitmen untuk memprioritaskan Alkitab sebagai pedoman utama di dalam hidup Melakukan Transformasi HatiKita sebagai anak Tuhan harus jalankan transformasi hati yang cocok bersama pandangan John Stott yang berisi “The heart of human gangguan is the gangguan of the human heart”. Caranya untuk jalankan transformasi hati, diantaranyaPerlu kerelaan hati untuk ulang dibentuk oleh Tuhan walau prosesnya tidak mudah. Kita harus berdiam diri di hadapan Tuhan untuk berharap Tuhan mengubah hati kita. Meskipun kita sebagai gereja memiliki cacatnya, tetapi kita akan dibentuk ulang oleh Roh Kudus pada selagi kita berkunjung kepada Tuhan. Harus mengejar apa yang mendatangkan damai sejahtera dan yang berguna untuk saling membangun Roma 1419.Memberitakan Injil kepada siapa saja yang belum percaya. Memberitakan Injl adalah sebuah keharusan dan kewajiban bagi orang percaya untuk kemuliaan Tuhan bukan untuk kemegahan diri 1 Korintus 916 supaya kita sanggup tahu maksud dan rencana Tuhan Matius 28 19.Harus bersatu dan sehati sepikir bersama pelayan – pelayan yang lain 1 Korintus 110-17; 1 Korintus 39. Tetapi pergunakanlah karunia yang tersedia pada kita untuk membangun tubuh kristus. Untuk membangun jemaat, kita adalah tubuh Kristus dan Kristus adalah kepalanya 1 Korintus 1227; Efesus 530; 2 Timotius 224.Gereja harus tidak dulu jenuh untuk konsisten mengingatkan jemaatnya di mana tiap-tiap manuasi harus berperilaku yang benar atas gadget, yaitu secara regular dan indah jikalau kita menghalau gadget dan berkomunikasi verbal bersama keluarga kita di rumah atau bersama sesama di area susah dan tantangan yang sering dihadapi, kita harus selamanya setia mobilisasi perintah-Nya bersama memiliki hati yang peka pada sesama dan memiliki jiwa yang tulus supaya siapa saja ingin bertobat dan diselamatkan lantas meraih keselamatan, yang merupakan anugerah Tuhan Yohanes 316; 1 Timotius 24; 2 Petrus 39.Akhir KataDemikian ulasan pembahasan tentang tantangan gereja pada masa kini. Mudah-mudahan kita bisa memahaminya sekaligus mengantisipasinya dalam kehidupan bergereja Ajaran Kristen AdventSejarah Gereja Advent Masuk IndonesiaTanggung Jawab Suami ke Istri dalam Kristen Kini gereja juga senantiasa mengajak umatnya untuk membentuk
Semenjak zaman rasul-rasul dan jemaat mula-mula, Gereja mengalami perubahan dan saat memasuki zaman Reformasi spirit gereja terus dipertahankan dan mengalami banyak tekanan dan pengaruh, setelah era reformasi gereja memasuki tantangan baru dan gereja harus berjuang mempertahankan nilai-nilai kebenaran di era modern. Beberapa perbedaan gereja mula-mula dan gereja modern, memberi gambaran kepada kita bahwa gereja sedang mengalami pergeseran nilai-nilai yang murni yang diwariskan oleh Para Rasul sesuai pesan Sang Kepala Gereja Yesus Kristus. Beberapa perbedaan dapat dirangkum sebagai berikutLokasi Gedung IbadahUkuran Besar, hubungan renggangHubungan Jauh, cenderung tidak saling kenal dan acuhAda Masalah Cari pendeta/Gembala SidangCara Hidup Individu, perseoranganPusat Kebaktian atau ibadah di gedung ibadah, dan aktif mengikuti program yang adaKehidupan Doa Pilihan pribadi, terbatasPenginjilan Penjangkauan keluar oleh orang-orang khusus, melalui program-program khususPemuridan Kelas, buku bacaan & catatan, sedikit teladan, transfer pengetahuanKepemimpinan Gembala Sidang, kepemimpinan tunggalTugas Pemimpin Memimpin program kerja, menyampaikan khotbah dengan baik, mendoakan jemaat, visitasi dllKeuangan Persembahan & Perpuluhan dari anggotaPengajaran Menekankan pengajaran atau kepercayaan khusus dari denominasi tersebut. Disampaikan oleh “orang tertentu”Gaya Pengajaran Statis, berpusat pada khotbah atau pengajaran satu arahKarunia Rohani Kurang berperan. Hanya dilakukan oleh orang tertentuHarapan Pada Anggota Setia hadir pada tiap program, memberi perpuluhan, masuk kelas pemuridan, aktif membantu “pelayanan”, membawa banyak orang ke “gereja”Perspektif Ibadah raya sebagai titik fokusKata Kunci Jadilah anggota “gereja”, datang bertumbuhlah bersama kamiMisi Mengutus utusan Injil, profesional dan sudah terlatih. Komitmen Memperluas institusi atau denominasi, keseragamanSpiritualitas Kristen cek-list, ketaatan pada agama/hukum, pemisahan antara kehidupan rohani dan sekulerGereja Mula-MulaLokasi Di rumah-rumahUkuran Kecil, hubungan akrabHubungan Dekat, transparan, saling peduliAda Masalah Saling menasehati dan membangun satu dengan yang lainCara Hidup Komunitas, kebersamaanPusat Ketaatan sebagai pelaku Firman Tuhan setiap waktu yang dimulai di rumah atau keluargaKehidupan Doa Penekanan yang kuatPenginjilan Pergi ke tetangga, saudara, teman dan masyarakat menjadi “kabar baik” dan bermultiplikasi secara alamiPemuridan “Mulut ke telinga”, teladan hidup, transfer pengetahuan dan Kepenatuaan, kepemimpinan jamakTugas Pemimpin Memperlengkapi jemaat untuk melakukan pekerjaan Tuhan bersama-samaKeuangan Membagi apa yang mereka miliki, jemaat mau saling berkorban bila ada sebuah kebutuhanPengajaran Mempelajari & mengaplikasikan kebenaran dalam kehidupan sehari-hari. Setiap jemaat dapat saling belajar dan Pengajaran Kinetis, ada dialog dan tanya-jawabKarunia Rohani Dipraktekkan secara teratur oleh semua orang percaya untuk saling membangunHarapan Pada Anggota Menjadi “gereja” dimana saja, membawa “gereja” dalam masyarakat, melayani orang lain, menjadi terang dan garam di dunia, menjadi alat transformasi bagi kotanyaPerspektif Jemaat yang bertemu di rumah sebagai titik fokusKata Kunci Jadilah murid Kristus, pergi dan jadikan semua bangsa murid KristusMisi Gereja mengutus dirinya sendiri untuk bermultiplikasi, jemaat menyadari semua terlibat misi dari TuhanKomitmen Memperluas Kerajaan Allah, bergerak bersama tubuh Kristus yang ada tanpa memandang “organisasinya”.Spiritualitas Menjadi “gereja”, taat karena mengasihi Tuhan, kehidupan rohani maupun sekuler manunggal
MaknaTeologis Konsep "Oikumene" Menurut Yohanes 17:1-26 dan Aplikasinya Bagi Gereja Masa Kini. Abstract The church has an important role in a movement for the gospel of Jesus Christ. "Kesatuan Dan Perbedaan Dalam Gereja Perdana." Indonesian Journal of Theology 2, no. 2 (2015): 179-205. Condro, Kuncoro. "Nubuatan Tentang Mesias The background of Latin American society in the past who were familiar with the hegemony of power of the bourgeoisie caused concern in the hearts of Christian theologians at the time. This concern finally gave birth to a theological model known as Liberation Theology. Liberation Theology is a praxis-oriented theological model, namely real action for the liberation of marginalized, poor and oppressed people. But the thought of Marxism influenced the concept of Liberation Theology so that the theological model was more like a destructive ideology. Bringing the concept of Liberation Theology to the light of the word of God is the right action for the church today in responding to the Liberation Theology. The aim is to analyze the contents of Liberation Theology, and how should the role of the church address the Liberation Theology, and apply liberation theology in everyday life. The method used is an explanatory qualitative approach to the role of the church in response to Liberation Latar belakang masyarakat Amerika Latin di masa lampau yang akrab dengan hegemoni kekuasaan kaum borjuis menyebabkan timbulnya keprihatinan dalam hati para teolog Kristen kala itu. Keprihatinan ini akhirnya melahirkan suatu model teologi yang dikenal dengan nama Teologi Pembebasan. Teologi Pembebasan adalah model teologi yang berorientasi pada praksis, yaitu tindakan nyata untuk pembebasan kaum termarginalkan, miskin dan tertindas. Akan tetapi pemikiran Marxisme turut memengaruhi konsep Teologi Pembebasan sehingga model teologi ini lebih mirip ideologi yang destruktif. Membawa konsep Teologi Pembebasan kepada terang firman Tuhan adalah tindakan yang tepat bagi gereja masa kini dalam menyikapi Teologi Pembebasan. Tujuan tulisan ini adalah menganalisis isi Teologi Pembebasan, dan bagaimana seharusnya peran gereja menyikapi Teologi Pembebasan tersebut, dan menerapkan teologi pembebasan dalam kehidupan sehari-hari. Metode yang digunakan adalah pendekatan kualitatif yang bersifat eksplanatori tentang peran gereja menyikapi Teologi Pembebasan. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free Copyright© 2019; BIA’, ISSN 2655-4666 print, 2655-4682 online 14 Peran Gereja Masa Kini Menyikapi Teologi Pembebasan Gutiérrez Fajar Gumelar*, Hengki Wijaya Sekolah Tinggi Filsafat Jaffray Makassar, Sulawesi Selatan *fajargumelar21298 Abstract The background of Latin American society in the past who were familiar with the hegemony of power of the bourgeoisie caused concern in the hearts of Christian theologians at the time. This concern finally gave birth to a theological model known as Liberation Theology. Liberation Theology is a praxis oriented theological model, namely real action for the liberation of marginalized, poor and oppressed people. But the thought of Marxism influenced the concept of Liberation Theology so that the theological model was more like a destructive ideology. Bringing the concept of Liberation Theology to the light of the word of God is the right action for the church today in responding to the Liberation Theology. The aim is to analyze the contents of Liberation Theology, and how should the role of the church address the Liberation Theology, and apply liberation theology in everyday life. The method used is an explanatory qualitative approach to the role of the church in response to Liberation Theology. Keywords church; Gutiérrez; liberation; praxis Abstrak Latar belakang masyarakat Amerika Latin di masa lampau yang akrab dengan hegemoni kekuasaan kaum borjuis menyebabkan timbulnya keprihatinan dalam hati para teolog Kristen kala itu. Keprihatinan ini akhirnya melahirkan suatu model teologi yang dikenal dengan nama Teologi Pembebasan. Teologi Pembebasan adalah model teologi yang berorientasi pada praksis, yaitu tindakan nyata untuk pembebasan kaum termarginalkan, miskin dan tertindas. Akan tetapi pemikiran Marxisme turut memengaruhi konsep Teologi Pembebasan sehingga model teologi ini lebih mirip ideologi yang destruktif. Membawa konsep Teologi Pembebasan kepada terang firman Tuhan adalah tindakan yang tepat bagi gereja masa kini dalam menyikapi Teologi Pembebasan. Tujuan tulisan ini adalah menganalisis isi Teologi Pembebasan, dan bagaimana seharusnya peran gereja menyikapi Teologi Pembebasan tersebut, dan menerapkan teologi pembebasan dalam kehidupan sehari-hari. Metode yang digunakan adalah pendekatan kualitatif yang bersifat eksplanatori tentang peran gereja menyikapi Teologi Pembebasan. Kata Kunci gereja; Gutiérrez; pembebasan; praksis 1. Pendahuluan Salah satu masalah krusial yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia saat ini adalah berkenaan dengan stratifikasi dan diferensiasi sosial, kemiskinan, dan diskriminasi. Di saat sebagian orang hidup dengan segala kemudahan, sebagian lainnya justru menderita dan hidup serba kekurangan. Di saat yang lain dipermudah dalam berbagai layanan Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen Kontekstual ISSN 2655-4666 print, 2655-4682 onlineVolume 2, No 1, Juni 2019; 14-26 Available at Fajar, Hengki Peran Gereja Masa Kini Menyikapi Teologi Pembebasan Gutiérrez Copyright© 2019; BIA’, ISSN 2655-4666 print, 2655-4682 online 15 publik, yang lain justru dipersulit. Belum lagi kentalnya budaya patriarkal yang begitu diskriminatif. Berdasarkan kenyataan bahwa gereja tumbuh dan berkembang dalam konteks sosial masyarakat Indonesia yang demikian, gereja dituntut untuk tidak menutup mata terhadap berbagai isu sosial masyarakat yang terjadi disekitarnya, sebab gereja dipanggil untuk memberitakan kabar baik bagi mereka yang tertindas dan tertawan serta membawa damai sejahtera Allah bagi dunia. Gagasan ini pada dasarnya merupakan bagian dari konsep Teologi Pembebasan yang mula-mula lahir di Amerika Latin, dan kemudian turut memengaruhi Asia termasuk Indonesia, sebagai bentuk keinsafan gereja akan tanggung jawabnya terhadap isu sosial masyarakat di sekitar. Artikel bertujuan untuk menganalisis isi Teologi Pembebasan, dan bagaimana seharusnya gereja – sebagai saksi Kristus yang hadir ditengah konteks sosial masyarakat Indonesia yang timpang dan diskriminatif − menyikapi Teologi Pembebasan tersebut, dan bagaimana gereja menerapkan teologi pembebasan dalam kehidupan sehari-hari. Sejarah lahirnya Teologi Pembebasan tidaklah lepas dari keadaan Amerika Latin di masa lampau. Orang-orang dari Amerika Utara, yakni orang-orang suku Indian berpindah ke wilayah Amerika Tengah dan Selatan, yang kemudian dikenal sebagai negeri-negeri Amerika Latin. Suku Indian kemudian menjadi penduduk asli disitu dan sangat men-cintai alam dan tanahnya. Keadaan yang damai dan tenteram itu berubah setelah keda-tangan bangsa Eropa khususnya Spanyol dan Portugis pada tahun 1942 dan mulai menguasai dan mengeksploitasi kekayaan alam dan tanah benua itu dan memperlaku-kan penduduk asli dengan Amerika Latin yang kaya dengan sumber daya alam ternyata tidak menjamin kesejahteraan rakyatnya. Justru rakyat dikepung dengan kemelaratan dikarenakan kekayaan alam hanya dikuasai oleh segelintir orang bermodal yang memperkaya diri dengan menghalalkan segala cara, termasuk mengorbankan kaum lemah. Keadaan penduduk yang memprihatinkan ini menimbulkan berbagai reaksi, khususnya dari dalam gereja. Konsep pemikiran Teologi Pembebasan yang berorientasi pada praksis muncul dari kalangan para teolog Katolik. Teolog-teolog pembebasan itu antara lain Rigoberta Manchú Tum, Frei Betto, Hugo Assmann dan Gustavo Metode Penelitian Penelitian kualitatif instrumen utamanya adalah peneliti sendiri yang mencari sumber terpercaya yang diharapkan dapat melengkapi data yang telah ditemukan melalui Hendri Mulyana Sendjaja, “Mewartakan Kabar Baik Pembebasan Bersama dan Bagi Yang Miskin, Tertawan dan Tertindas’ Menghayati Kembali Kehadiran Teologi Pembebasan Amerika Latin dan Perkembangan Mutakhir Teologi-Teologi Pembebasan Asia” makalah dipresentasikan pada Konsultasi Nasional Mahasiswa Teologi di Indonesia, STT IKAT, Jakarta, 4 September 2018. Ibid. Ibid. Stevri I. Lumintang, Theologia Abu-Abu Pluralisme Agama Malang Gandum Mas, 2004 398. Hendri Mulyana Sendjaja, “Mewartakan Kabar Baik Pembebasan.” BIA’ Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen Kontekstual, Vol 2, No 1 Juni 2019 Copyright© 2019; BIA’, ISSN 2655-4666 print, 2655-4682 online 16 observasi, wawancara, dan penelusuran literatur kepustakaan. Pembahasan di dalam paper dengan pendekatan kualitatif yang bersifat eksplanatori, yang menjelaskan segala hal berkaitan dengan teologi pembebasan dalam hubungannya dengan peran gereja melalui pembahasan teoritik yang sumbernya adalah literatur berupa buku dan jurnal. Penekanan pembahasan di arahkan pada usaha mencari penjelasan makna, dan fenomena berkaitan dengan pokok Pembahasan Gustavo Gutiérrez dan Teologi Pembebasan Diantara sekian banyak teolog-teolog pembebasan, Gutiérrez adalah salah satu yang paling tersohor. Gutiérrez lahir pada tanggal 8 Juni 1928 di Monserat, sebuah kawasan di Lima, dalam keluarga yang relatif miskin tampaknya telah membuat Gutiérrez memiliki rasa empati yang besar terhadap kehidupan orang-orang lain disekitarnya yang memiliki nasib yang sama atau bahkan lebih buruk darinya. Sebagai seorang teolog, Gutiérrez melihat kehidupan kaum termarginalkan, miskin dan tertindas sebagai urgensi atau isu krusial dari sebuah teologi. “Teologi pembebasan dimulai sebagai refleksi iman dalam tindakan bersama atas orang miskin dan yang terpinggirkan, dan telah berkembang ke ranah praksiks, refleksi teologis, dan herme-neutika pascakolonial.”Gutiérrez berpandangan bahwa teologi seharusnya adalah the second act yang mengikuti praksis yang adalah the first act. Yang dimaksud dengan praksis adalah kontemplasi doa dan aksi komitmen. Inilah yang mencirikan Teologi Pembebasan, bahwa praksis selalu mendahului refleksi. Teologi Pembebasan pada umumnya memfokuskan praksis pembebasan bagi kaum termargi-nalkan, yang miskin, tertindas dan teraniaya, dengan tidak semata-mata menyuarakan keprihatinan dan kepedulian dari belakang meja belajar, tetapi turut menceburkan diri dalam kehidupan rakyat dan bersama-sama mengupayakan apa yang menjadi tuntutan dan keinginan pengamatan Gutiérrez terhadap konteks sosio-kultural Amerika Latin, kemiskinan Amerika Latin adalah kemiskinan struktural, artinya orang dibuat Wijaya, Analisis Data Kualitatif Ilmu Pendidikan Teologi Makassar Sekolah Tinggi Filsafat Jaffray Makassar, 2018, 23. Sonny Eli Zaluchu, Sistematika Riset dan Analisis Data Kuantitatif Semarang Golden Gate Publishing, 2018, 22-23. Mateus Mali, “Gutiérrez dan Teologi Pembebasan,” Orientasi Baru 25, no. 1 April 2016 20, diakses 22 Januari 2019, William T. Cavanaugh, Peter Manley Scott ed., Wiley Blackwell Companion to Political Theology USA John Wiley & 2019, 302-303. Band Ivan Sampe Buntu, “Membaca Teks Dalam Pandangan Poskolonial Catatan Kritis Atas Bacaan Terhadap Teks Kitab Suci,” BIA’ Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen Kontekstual 1, no. 2 2018 179–190. Ibid., 20. Hendri Mulyana Sendjaja, “Mewartakan Kabar Baik Pembebasan Bersama dan Bagi Yang Miskin, Tertawan dan Tertindas’ Menghayati Kembali Kehadiran Teologi Pembebasan Amerika Latin dan Perkembangan Mutakhir Teologi-Teologi Pembebasan Asia” Mateus Mali, “Gutiérrez dan Teologi Pembebasan,” 25. Fajar, Hengki Peran Gereja Masa Kini Menyikapi Teologi Pembebasan Gutiérrez Copyright© 2019; BIA’, ISSN 2655-4666 print, 2655-4682 online 17 Kemiskinan struktural merupakan konsekuensi interaksi kelas bawah masyarakat dengan kelas atas yang kapitalis dan berkarajter feodal. Perpaduan antara kapitalisme eksternal dan sikap feodal para pemodal internal berperanan di dalam memun-culkan kemiskinan. Ada suatu sistem yang secara struktural terbentuk di kalangan para pemilik modal atau kaum kapitalis untuk memperkaya diri sendiri dengan mengor-bankan kesejahteraan masyarakat miskin. Sistem ini membuat yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin dan tertindas. Kesenjangan dan ketidakadilan inilah yang coba dibereskan oleh konsep Teologi Pembebasan ala Gutiérrez. Ia ingin mendamaikan materialisme dan idealisme dunia profan dengan surga transenden.”Gutiérrez mengatakan bahwa ia membuat tiga penemuan bahwa perlu memerangi ke-miskinan, orang miskin adalah kelas yang dapat diidentifikasi, dan bahwa “kemiskinan tidak disengaja…bukan hanya masalah kebetulan, tetapi hasil dari struktur.”Fenomena kontemporer adalah kemiskinan kolektif yang mengarahkan mereka yang menderita untuk menjalin ikatan solidaritas di antara mereka sendiri dan untuk perjuangan melawan kondisi di mana mereka berada dan melawan mereka yang mendapat manfaat dari kondisi ini. Dengan kata lain konsep Teologi Pembebasan berusaha untuk menciptakan keharmonisan dalam hidup setiap umat manusia dimana sukacita surga yang mulia dinyatakan di dalam dunia yang fana. Dalam pandangan Teologi Pembebasan, gerejalah yang harus menjadi pemrakarsa dari tindakan ini sebagai saksi Kristus dan warga kerajaan Allah, bukannya sekadar berdiam diri atau malah mendukung hegemoni kekuasaan yang menindas kaum lemah. Satu penekanan penting dalam konsep pembebasan Gutiérrez adalah bahwa “sesuatu yang transenden tidak mungkin dibicarakan atau diwartakan tanpa adanya sebuah perubahan pada tatanan masyarakat yang tidak adil.”Tiga penemuan Gustavo Gutiérrez mengenai kemiskinan yaitu 1 kemiskinan adalah destruktif, sesuatu yang saling berlawanan, dan menghancurkan bukan sesuatu yang dapat diterima oleh tindakan kasih; 2 kemiskinan bukan kebetulan tetapi berstruktur. Maka diperlukan suatu perubahan baru; 3 kemiskinan adalah suatu kelas sosial sehingga terjadi diskriminasi dan eksploitasi status. Oleh karena itu Gutiérrez bertindak membantu yang miskin, dan membawa pemikirannya masuk dalam tindakan politik. Ivanovich Agusta, Diskursus, Kekuasaan dan Praktik Kemiskinan di Pedesaan Jakarta Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2014, 137-138. Mateus Mali, “Gutiérrez dan Teologi Pembebasan,” 25-26. Paul E. Sigmud, Liberation theology at the crossroads democracy or revolution? New York Oxford University Press, Inc, 1990. Gustavo Gutiérrez, A Theology Of Liberation History, Politics, And Salvation Maryknoll, Orbis, 1973, 163-164. Mateus Mali, “Gutiérrez dan Teologi Pembebasan,” 26. Robert McAfee Brown, Gustavo Gutierrez An Introduction to Liberation Theology Eugene, Oregan Wips and Stock Publisher, 2013, 32. BIA’ Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen Kontekstual, Vol 2, No 1 Juni 2019 Copyright© 2019; BIA’, ISSN 2655-4666 print, 2655-4682 online 18 Teologi Pembebasan memiliki empat metode. Pertama, Teologi Pembebasan bertitik tolak dari situasi Amerika Latin. Teologi haruslah secara intrinsik dihubungkan dengan situasi, budaya, dan sosial yang Pembebasan bukanlah teologi yang bersifat universal tetapi kontekstual. Konteks pembebasan yang diupayakan terhadap masyarakat termarginalkan di Amerika Latin tentu tidak dapat diterapkan dalam konteks masyarakat lain. Hal ini dikarenakan adanya kekhasan sosio-kultural dalam setiap komunitas masyarakat. Untuk itu gereja harus selalu melihat isu krusial dalam masyarakat, dan melihat konsep pembebasan seperti apa yang perlu disuarakan dan diupayakan. Kedua, teologi sebagai refleksi kritis di dalam komunitas. Menurut Gutiérrez, “teologi haruslah keluar dari kehidupan iman yang berusaha menjadi otentik dan sempurna.”Keotentikan dan kesempurnaan kekristenan yang sejati itu dapat dicapai apabila gereja memihak kepada masyarakat miskin dan melibatkan diri dalam perjuangan untuk membebaskan mereka. Gutiérrez memiliki pemikiran kedatangan Kerajaan dan pengharapan parousia adalah selalu dan pasti bersifat historis, temporal, realitas duniawi, sosial dan bukunya yang berjudul On the side of the poor the theology of liberation pemikiran Gutiérrez, dan Müller mengingatkan komunitas gereja, mengapa teologi pembebasan merupakan hadiah penting bagi gereja global. Esai Müller sangat berwawasan luas karena mereka mengklarifikasi aspek-aspek tertentu dari teologi pembebasan misalnya menjelaskan konteks, dan kontribusinya pada teologi sambil menawarkan alasan yang meyakinkan tentang mengapa teologi pembebasan harus dipandang lebih dari sekadar teologi regional belaka. Namun Teologi Pembebasan tidak boleh hanya memandang kemiskinan adalah tanggung jawab gereja saja tetapijuga tanggung jawab secara universal. Kemiskinan akan selalu ada di antara kita, namun yang terpenting bagaimana mengimplementasikan iman Kristen sehingga kaum miskin menyadari ada pembebasan yang lebih baik daripada kemiskinan itu sendiri yaitu pembebasan yang diberikan oleh Allah, dan bukan pembebasan yang diusahakan oleh manusia atau pemahaman teologi semata. Ketiga, menempatkan praksis sebagai peran utama bagi pembebasan kaum tertindas. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya bahwa praksis merupakan the first act dalam konsep Teologi Pembebasan. Gutiérrez melihat bahwa belas kasihan adalah pusat dari kekristenan, sehingga teologi Kristen haruslah menyangkut praksis yang secara konkret menerapkan kasih itu dalam kehidupan, khususnya dalam kegiatan Natalie, “Evaluasi Kritis Terhadap Doktrin Gereja Dari Teologi Pembebasan,” Veritas 1, no. 2 Oktober 2000 184. Ibid., 184. Ibid. Tim Gorringe, “Cult books revisited Gustavo Gutierrez’s A Theology of Liberation,” Theology 120, no. 4 2017 249, Gustavo Gutiérrez and Gerhard Ludwig Müller, On the Side of the Poor The Theology of Liberation Maryknoll, New York Orbis Books, 2015. Ibid., 185. Fajar, Hengki Peran Gereja Masa Kini Menyikapi Teologi Pembebasan Gutiérrez Copyright© 2019; BIA’, ISSN 2655-4666 print, 2655-4682 online 19 pembebasan kaum miskin dan tertindas. “Teologi Pembebasan dalam seluruh tujuan praksisnya menyamakan mencintai sesama sama dengan mencintai Tuhan.” Teologi yang dicari oleh Gutierrez adalah sesuatu yang terbuka bagi anugerah Kerajaan Allah dalam protes menentang martabat manusia yang terinjak-injak, perjuangan melawan penjarahan sebagian besar orang, kasih yang membebaskan, dan pembangunan yang baru, adil, dan masyarakat teologi adalah the second act yang mengikuti praksis. Dalam tindakan pertama, gereja memainkan perannya sebagai saksi Kristus yang berdiri di pihak orang-orang miskin, tertawan dan tertindas. Sementara tindakan kedua adalah refleksi terhadap praksis yang kemudian diajarkan sebagai sebuah teologi. Dari penjelasan keempat metode tersebut di atas maka metode keempat mengaitkan Teologi Pembebasan dan konsep pemikiran Marxisme. Teologi Pembebasan pada hakikatnya tidaklah lepas dari konsep pemikiran Marxisme. Marxisme adalah paham yang berlandaskan pada pandangan-pandangan Karl Marx. Dalam pandangan Marxisme dikatakan bahwa agama adalah candu kekristenan yang mapan dan berpengaruh kala itu akhirnya memunculkan pendekatan materialistik dalam memahami agama. Hal ini kemudian menjadikan agama berkembang menjadi alat justifikasi penguasa yang dipandang sebagai wakil Tuhan ternyata justru menciptakan sistem yang diskriminatif dan egosentris. Freuerbach turut melihat bahwa terjadi penguasaan agama oleh kaum hegemonik yang kemudian berimplikasi pada pembentukan strata kelas-kelas dalam masyarakat, bahkan pola penindasan dan perilaku subordinatif lainnya oleh kelas penguasa kepada publik. Agama menjadi candu bagi masyarakat yang membuat ketagihan untuk menjaga survivalitas akan keistimewaan kelas yang keyakinan Kristen bukanlah agama atau legalitas di masyarakat, tetapi pribadi yang menyatakan kasih-Nya atas manusia, dan manusia pun melakukan kasih-Nya kepada yang lainnya. Teologi Pembebasan tidak dapat dilepaskan dari empat pilar pemikiran Marxisme. Adapun empat pilar Marxisme yang diadopsi oleh Teologi Pembebasan adalah a analisis perjuangan kelas; b mengutuk harta milik/kekayaan pribadi; c mendukung pemberontakan yang keras; d “manusia baru” menebus dirinya sendiri menjadi Mateus Mali, “Gutiérrez dan Teologi Pembebasan,” 32. Tim Gorringe, “Cult books revisited Gustavo Gutierrez’s A Theology of Liberation,” Theology 120, no. 4 2017 252, Natalie, “Evaluasi Kritis Terhadap Doktrin Gereja Dari Teologi Pembebasan,” 186. Wasito Raharjo Jati, “Agama dan Politik Teologi Pembebasan Sebagai Arena Profetisasi Agama,” Walisongo 22, no. 1 Mei 2014 136, diakses 24 Januari 2019, Wasito Raharjo Jati, “Agama dan Politik Teologi Pembebasan Sebagai Arena Profetisasi Agama,” 136. Ibid., 137. Ibid. BIA’ Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen Kontekstual, Vol 2, No 1 Juni 2019 Copyright© 2019; BIA’, ISSN 2655-4666 print, 2655-4682 online 20 juruselamat bagi dirinya sendiri.Teologi Pembebasan pun turut menerapkan sepuluh dasar pemahaman Marxisme terhadap iman Kristen, yang hasilnya adalah a tidak mengakui adanya kejatuhan; b menyangkal bahwa kematian merupakan akibat dari kejatuhan; c menjadikan Allah sebagai Marxis pertama; d menjadikan Yesus sebagai pencipta subversi; e tidak mengindahkan karya penebusan; f mengubah arti pertobatan pertobatan ada dalam bentuk pembebasan terhadap orang-orang miskin dan yang tertindas; g menyimpangkan makna kasih disebut kasih jikalau terlibat dalam pemberontakan dan perjuangan melawan penindas; h memindahkan “perbuatan- perbuatan” Kristen ke dalam praksis Marxisme; i menundukkan gereja kepada mandat Marxis; j tidak memiliki doktrin eskatologis yang di atas adalah pertimbangan sebagai kritik yang mana Teologi Pembebasan mengabaikan rencana Allah bagi umat-Nya sekiranya Dia mengizinkan kemiskinan itu ada sebagai konsekuensi rencana-Nya dan kehendak-Nya di masa yang akan datang. Gereja hadir untuk melakukan kehendak-Nya, dan kehendak Allah bukanlah satu-satunya untuk memihak kaum miskin, dan terpinggirkan tetapi kehendak Allah yang membebaskan. Dalam perjalanan sejarah Teologi Pembebasan yang panjang membawa generasi baru para teolog Teologi Pembebasan pada masa kini yang dituliskan secara jelas dalam buku The Future of Liberation Theology An Argument and Manifesto, Ivan Petrella menjelaskan bahwa teologi pembebasan saat ini mendapati dirinya tidak mampu bergerak lebih dari sekadar berbicara tentang pembebasan untuk benar-benar diberlakukan dalam masyarakat. Memberikan interpretasi baru yang berani tentang keadaan saat ini, dan potensi masa depan dari teologi pembebasan. Selanjutnya Ivan Petrella menyatukan penelitian orisinal tentang gerakan, dengan perkembangan dalam teori politik, teori hukum kritis, dan politik ekonomi untuk merekonstruksi pemahaman teologi pembebasan tentang teologi, demokrasi dan kapitalisme. Hasilnya adalah pemulihan proyek-proyek sejarah, sehingga memungkinkan para teolog pembebasan untuk sekali lagi menempatkan realitas pembebasan, dan bukan hanya janji, di garis depan tugas mereka. Dengan demikian semakin nyata perjuangan para teolog Teologi Pembebasan untuk mewujudkan Teologi Pembebasan dalam realitas kehidupan Kristen, dan bergereja. Pemikiran Gutiérrez yang melahirkan Teologi Pembebasan di masa lalu, dan perbedaannya di masa kini menanggapi relevansi Teologi pembebasan pada masa kini yang man konteks Teologi pembebasan pada masa itu tidak melihat tantangan di masa yang akan datang. Gutiérrez menilai bahwa Teologi pembebasan saat ini telah Natalie, “Evaluasi Kritis Terhadap Doktrin Gereja Dari Teologi Pembebasan,” 185. Ibid., 185. Ivan Petrella, The Future of Liberation Theology An Argument and Manifesto, 1st ed. Routledge, 2017. Ibid. Fajar, Hengki Peran Gereja Masa Kini Menyikapi Teologi Pembebasan Gutiérrez Copyright© 2019; BIA’, ISSN 2655-4666 print, 2655-4682 online 21 memasuki periode baru. Gutiérrez juga berpandangan bahwa Teologi tentu membawa tanda waktu, dan konteks eklesial di mana teologi tersebut dilahirkan. Mereka hidup sejauh kondisi yang melahirkan mereka tetap ada. Teologi-teologi yang pernah ada dapat mengatasi berbagai tantangan, namun berjalannya waktu maka teologi tersebut pun akhirnya tunduk dengan waktu yang ada. Kita merujuk, tentu saja, ke mode tertentu dari suatu teologi rangsangan langsung, instrumen analitis, gagasan filosofis, dan lain-lain, bukan fundamental afirmasi tentang kebenaran yang diungkapkan. Ivan Petrella menyikapi pernyataan Gutiérrez dengan memberikan penilaian atas dirinya. Bagi Gutiérrez, dalam kasus teologi pembebasan tertentu, kebenaran esensial yang diungkapkan itu berkisar pada apa yang disebut opsi preferensial bagi kaum miskin. Pilihan untuk orang miskin adalah evangelikal secara radikal, dan dengan demikian merupakan kriteria penting untuk memisahkan gandum dari sekam dalam peristiwa mendesak, dan arus pemikiran kita hari ini. Perhatikan bahwa Gutiérrez membedakan kebenaran teologi yang diungkapkan dari sarana yang membawa kebenaran itu. Dengan demikian, ada perbedaan yang harus ditarik antara konten yang diungkapkan teologi pembebasan, dan alat sosioanalitik yang digunakan untuk menjelaskan konten itu. Mendiskreditkan mediasi tertentu tidak menyentuh opsi preferensial bagi orang miskin sebagai inti dari teologi demikian perlu melihat konteks Teologi Pembebasan pada masa lalu lalu, dan kepentingan Teologi pembebasan pada masa kini. Oleh karena itu, penulis akan menjabarkan penjelasan peran gereja masa kini dalam menyikapi Teologi Pembebasan dalam konteks kekinian. Gereja dan Teologi Pembebasan Batas-Batas Praksis Pembebasan Teologi Pembebasan merupakan konsep teologi yang berorientasi pada praksis yang mengupayakan keadilan, dan kesejahteraan bagi semua. Dalam konsep ini, Yesus yang datang ke dunia membawa kasih, dan keadilan-Nya bagi umat manusia. Berdasarkan poin tersebut teologi pembebasan hadir dalam solidaritas sosial sebagai refleksi kehadiran Kristus. Tujuan praksis pembebasan adalah baik dan mulia. Namun melihat dasar pemikiran Marxisme yang diterapkan terhadap iman Kristen dapat disadari pula bahwa ada banyak hal yang janggal dan menyimpang dari konsep Teologi Pembebasan. Konsep Teologi Pembebasan yang berorientasi pada praksis dengan pengaruh pemikiran Marxisme cenderung salah dalam menafsirkan firman Tuhan yang diangkat sebagai dasar teologinya. Teologi Pembebasan tidak mengeluarkan kebenaran firman Tuhan untuk kemudian diterapkan ke dalam kehidupan dunia yang bermasyarakat, tetapi justru mengambil konteks yang terjadi di dalam masyarakat dan mencocok-Ibid., 3 Ibid. BIA’ Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen Kontekstual, Vol 2, No 1 Juni 2019 Copyright© 2019; BIA’, ISSN 2655-4666 print, 2655-4682 online 22 kannya atau mengaitkannya dengan ayat-ayat Alkitab yang dianggap mendukung konteks. Jika titik tolak teologi salah, maka penguraiannya pun adalah salah. Teologi alkitabiah haruslah bertolak dari Alkitab, bukannya memanipulasi ayat-ayat tertentu agar selaras dengan tindakan. Pandangan Teologi Pembebasan yang mengizinkan penggunaan kekerasan akan berlawanan dengan pengajaran Yesus yang cinta damai. Dengan demikian perspektif teologi pembebasan mengizinkan gereja untuk mengupayakan segala cara, bahkan kekerasan sekalipun untuk dapat menciptakan masyarakat yang tanpa kelas, dan stratifikasi. Hal itu dapat menyebabkan kehidupan gereja tidak selaras lagi dengan firman Tuhan karena telah menjadi serupa dengan dunia. Gereja tidak lagi menjadi terang dan menerapkan kasih yang sesungguhnya. Oleh karena itu, peran gereja dalam menerapkan nilai-nilai Teologi Pembebasan dengan cara Allah bertindak, dan bukan dengan sekehendak manusia. Sebab Allah menghendaki perdamaian. Praksis dilihat sebagai satu-satunya jawaban terhadap masalah-masalah sosial, bukannya pribadi dan karya Allah Tritunggal di dalam gereja menerima konsep Teologi pembebasan tanpa evaluasi kritis terhadapnya, maka gereja akan mengalami kekacauan teologi, dan penyimpangan doktrin dari apa yang dicatat dan diajarkan oleh Alkitab. Penerapan Teologi Pembebasan didasarkan pada eksegesis firman Tuhan, dan bukan pemahaman manusia yang dilegalkan dengan firman Tuhan. Untuk itu sebagai gereja haruslah melihat konsep Teologi Pembebasan secara kritis dan menentukan batas-batas praksis yang benar dari model teologi ini. Peran gereja untuk menyikapi pengaruh Teologi Pembebasan yang positif dan negatif. Pengaruh positif yaitu dimana gereja tidak diam melihat realitas sosial yang tidak adil, dan sejahtera yang terjadi di sekitar kehidupan bermasyarakat. Sementara pengaruh negatif adalah ketika gerakan Teologi Pembebasan ini memaksakan pahamnya untuk menolong yang tertindas sekalipun bertentangan dengan pemerintahan, dan menciptakan situasi masyarakat yang tidak damai. Bila Teologi Pembebasan berpandangan bahwa realitas sosial yang penuh konflik tidak dapat membuat kita melupakan persyaratan kasih universal yang tidak mengenal batasan kelas sosial, ras, atau gender. Penegasan bahwa pribadi manusia adalah agen nasibnya sendiri dalam sejarah harus dibuat sedemikian rupa sehingga inisiatif seenaknya dari Allah dalam proses penyelamatan - yang merupakan akhir dari evolusi historis umat manusia - dapat dengan jelas terlihat. Sesungguhnya, karunia Allah "yang mengasihi kita lebih dahulu" 1 Yoh. 419 membingkai dan memunculkan kemanusiaan sebagai respons bebas terhadap kasih itu. Dengan kutipan ayat 1 Yohanes 419 bahwa Allah mengasihi kita lebih dahulu maka wajib untuk mengasihi saudara kita sesama Natalie, “Evaluasi Kritis Terhadap Doktrin Gereja Dari Teologi Pembebasa, 190. Ibid. Gustavo Gutiérrez and Gerhard Ludwig Müller, On the Side of the Poor The Theology of Liberation Maryknoll, New York Orbis Books, 2015. Fajar, Hengki Peran Gereja Masa Kini Menyikapi Teologi Pembebasan Gutiérrez Copyright© 2019; BIA’, ISSN 2655-4666 print, 2655-4682 online 23 manusia. Namun kasih Allah adalah inisiatif Allah bukan perbuatan kasih menusia terhadap sesamanya. Bila manusia mengupayakan kasihnya dengan kekuatannya maka kasih Allah bisa menjadi sama dengan kasih manusia. Hal positifnya bahwa pandangan Teologi Pembebasan memberikan kebebasan untuk menyatakan kasih kepada semua manusia tanpa melihat perbedaan. Dalam gereja masa kini mungkin sulit menyatakan kasih seperti itu bila tidak ada kasih Allah yang telah mengasihi gereja lebih dahulu. Hal yang lain adalah mengapa kaum borjuis dan kaum miskin menunjukkan gap yang luas dan memberikan perbedaan yang nyata dalam agama sebagai legalitas dan gereja sebagai organisasi, maupun organisme. Inilah yang membuat keterkaitan kuat paham Marxisme dan Teologi Pembebasan. Marxisme dan Teologi Pembebasan pada dasarnya sama-sama mengutuk agama yang melanggengkan status quo dan yang membenarkan kekuasaan kaum borjuis yang Pembebasan juga menyuarakan kritik tegas terhadap kehidupan gereja di masa lampau yang memihak kepada kaum borjuis atau kapitalis yang menindas kaum miskin. Konteks gereja di Indonesia bisa diupayakan dalam konteks berkeadilan sosial bagi seluruh warga gereja dan sesama manusia sebagai warga negara Indonesia. Gereja tidak hanya menjadi organisasi, namun organisme yang menyuarakan pembebasan Kristus atas dosa, kutuk, dan kasih kepada sesama yang didasarkan pada kasih Allah yang hidup dalam orang percaya, dan gereja-Nya. Kemunculan Teologi Pembebasan membawa perubahan gereja yang diinsafkan bahwa keadaan hidup bergereja bukan semata-mata sebuah hierarki tetapi umat Allah. Gereja tidak diutus ke dalam dunia untuk memusingkan soal-soal stratifikasi dalam gereja dan masyarakat atau mempertahankan survivalitas akan keistimewaan kelas yang duniawi, tetapi menjadi terang bagi dunia yang gelap. Hal penting lainnya adalah bahwa Teologi Pembebasan memberitakan panggilan kepada gereja untuk menyatakan kasih kepada sesama sebagai wujud dari teologi yang berdasarkan firman diingatkan untuk tidak sekadar berfokus kepada pembangunan gedung gereja atau disibukkan dengan hal-hal internal gereja, tetapi melakukan hal yang lebih utama yaitu menjadi saksi Kristus bagi masyarakat di sekitarnya. Hal-hal ini merupakan sumbangsih positif dari Teologi Pembebasan kepada kehidupan bergereja dan bermasyarakat. Untuk itu gereja perlu untuk memahami bahwa Teologi Pembebasan haruslah digunakan atau diterapkan dengan kacamata Alkitab, bukan pemikiran Marxisme. Artinya adalah bahwa batas-batas praksis Teologi Pembebasan ditentukan oleh apa yang dilarang, dan diamanatkan Allah melalui firman-Nya. Segala konsep yang bertentangan dengan firman Allah harus dibuang, sementara praksis-praksis atau pemikiran-pemikiran yang selaras dengan firman Allah haruslah Mateus Mali, “Gutiérrez dan Teologi Pembebasan,” 31. Natalie, “Evaluasi Kritis Terhadap Doktrin Gereja Dari Teologi Pembebasan,” 190. Ibid., 190. BIA’ Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen Kontekstual, Vol 2, No 1 Juni 2019 Copyright© 2019; BIA’, ISSN 2655-4666 print, 2655-4682 online 24 diterapkan dalam kehidupan bergereja, dan bermasyarakat sebagai warga negara Indonesia. Kristus Sebagai Teladan Gereja dan Pembebasan-Nya Teladan sempurna bagi gereja dalam menapaki perjalanan hidup di dunia adalah Yesus Kristus. Kristus sebagai teladan adalah bahwa gereja harus menjadi serupa dengan Kristus. Keteladan Kristus mencakup segala hal yang baik dan seturut kehendak Allah, tidak terkecuali dalam kaitan dengan konsep Teologi Pembebasan. Dalam inkarnasi-Nya sebagai manusia, Yesus memilih untuk lahir dari keluarga sederhana, dari kaum yang terkecil diantara kaum-kaum Yehuda. Bahkan kelahiran-Nya bukanlah di istana atau rumah yang megah, tetapi justru di kandang domba. Meninjau pada perjalanan kehidupan Yesus ketika hidup sebagai manusia di dunia, dapat pula dilihat bahwa Yesus turut menerapkan praksis pembebasan. Dalam kehidupan pelayanan-Nya, Dia senantiasa memperhatikan kehidupan orang-orang termarjinalkan, miskin dan tertindas. Ia menyembuhkan orang sakit serta memberi makan orang yang kelaparan. Yesus menyatakan keadilan dan kasih Allah bagi dunia secara konkret Lih. Luk. 418-19. Yesus tidak semata-mata menjanjikan keselamatan surgawi tetapi juga berkarya untuk membebaskan manusia dari belenggu penderitaan di dunia, yang antara lain disebabkan oleh kemiskinan; dengan demikian Yesus menjadi pembebas bagi kaum miskin yang yang harus diingat adalah bahwa pelayanan kasih yang dilakukan Yesus tersebut tidaklah menggantikan pemasyhuran Injil. Pelayanan kasih tersebut justru menyertai pemasyhuran Injil. Dalam Matius 1413-21 dapat dilihat bahwa Yesus tidak hanya peduli dengan kebutuhan rohani orang banyak, tetapi juga kebutuhan jasmani mereka. Selain memberitakan firman Yesus juga memberi mereka makan ketika mereka lapar. Lebih dari lima ribu orang dikenyangkan oleh makanan rohani maupun makanan jasmani dari Yesus. “Pemasyhuran Injil harus dilakukan dengan pelayanan firman dan pelayanan kasih, dengan firman dan perbuatan.” Terkait hal tersebut kehadiran Yesus di dunia ini menghadirkan keduanya sekaligus yaitu pemasyhuran Injil dan kasih-Nya. Gereja hadir untuk menyatakan keselamatan roh oleh Injil, dan keselamatan jasmani oleh perbuatan baik orang percaya melalui komunitas gereja. Praksis Teologi Pembebasan seharusnya menjadi bagian dari hidup bergereja. Praksis pembebasan itu berorientasi pada keteladanan pembebasan yang dilakukan oleh Yesus. Peran gereja berfokus pada pembebasan Yesus atas belenggu dosa, dan dampaknya mengasihi Allah, dan mengasihi manusia. Gereja harus peka terhadap isu-isu atau gejala-gejala sosial di sekitarnya. Gereja harus menjadi garam dan terang bagi dunia. Juga bahwa praksis-praksis pembebasan – berupa kontribusi gereja untuk Bobby Steven Timmerman, “Menghadirkan Yesus Kristus Yang Membebaskan “Para Petani Miskin Yang Tersalib” Di Paroki Mara Satu,” Orientasi Baru 23, no. 1 April 2014 22, diakses 25 Januari 2019, Harun Hadiwijono, Iman Kristen Jakarta BPK Gunung Mulia, 2016, 387. Fajar, Hengki Peran Gereja Masa Kini Menyikapi Teologi Pembebasan Gutiérrez Copyright© 2019; BIA’, ISSN 2655-4666 print, 2655-4682 online 25 menolong orang-orang miskin, tertawan dan tertindas – tidaklah boleh mengabaikan pemashuran Injil. Gereja tidak boleh melupakan tugas panggilannya untuk memberitakan berita Injil bagi dunia. Gereja juga harus menginsafi bahwa segala kontribusinya dalam masyarakat bukanlah supaya mendapat pengakuan dari dunia, melainkan semata-mata supaya Allah dimuliakan, seperti halnya yang Yesus lakukan. Chris Houson mengungkapkan bahwa kehadiran Teologi Pembebasan untuk mengkritik keadaan gereja dengan pertanyaan, dan menantang cara pandang gereja dalam menyikapi relasi gereja dengan hadir di muka bumi untuk menjadi saksi Kristus. Gereja tidak hadir untuk memberi beban, namun berbelas kasihan akan dunia melalui kasih Kristus. Hengki Wijaya dalam tulisannya Analisis Biblika Terhadap Konsep Teologi Pembebasan di dalam Kekristenan menyimpulkan bahwa “Teologi Pembebasan mengingatkan kita untuk menerapkan kebenaran firman Tuhan di dalam tindakan yang nyata. Tidak hanya teori tetapi harus menyatakan perwujudan iman kepada Kristus di dalam tindakan kasih kepada sesama sehingga Kristus dipermuliakan Mat. 513-16;Yak. 214- 26.”Selanjutnya sikap orang-orang Kristen seharusnya juga tidak hanya dapat memberikan khotbah kepada orang-orang yang tertindas dan dalam kesusahan, namun juga harus mengulurkan tangan kasih sebagai perwujudan yang nyata dari firman yang diberitakan. 4. Kesimpulan Teologi Pembebasan senantiasa berorientasi pada praksis pembebasan kepada kaum termarginalkan, miskin dan tertindas. Namun demikian pemikiran Marxisme turut memengaruhi konsep Teologi Pembebasan. Hal ini tentu bukan suatu hal yang baik. Apalagi oleh pemikiran Marxsis tersebut Teologi Pembebasan menjadi tidak ubahnya seperti ideologi komunis bahkan radikalis yang sama sekali tidak sesuai dengan firman Tuhan. Teologi Pembebasan sejatinya baik untuk diterima dan diterapkan oleh gereja. Untuk itu Teologi Pembebasan harus ditundukkan pada terang Alkitab, sehingga tidak lagi terpengaruh oleh pemikiran Marxisme yang bertentangan dengan Alkitab tetapi Teologi Pembebasan menjadi seruan positif yang menginsafkan gereja untuk tidak sibuk dengan urusan diri sendiri tetapi senantiasa menyatakan kasih Kristus di tengah-tengah hidup bermasyarakat. Peran gereja menyikapi Teologi Pembebasan bukan berdasarkan konteks sejarah lahirnya teologi ini di masa lalu, melainkan nilai-nilai akitabiah yang diterapkan, dan dimplikasikan secara praktis di dalam gereja, dan masyarakat melalui kasih Allah yang membebaskan, dan menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Chris Howson, A Just Church 21st century Liberation Theology in Action NY Continuum International Publishing Group, 2011, x. Hengki Wijaya, “Analisis Biblika Terhadap Konsep Teologi Pembebasan Di Dalam Kekristenan,” diakses 2 Februari 2019, BIA’ Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen Kontekstual, Vol 2, No 1 Juni 2019 Copyright© 2019; BIA’, ISSN 2655-4666 print, 2655-4682 online 26 Referensi Agusta, Ivanovich. Diskursus, Kekuasaan dan Praktik Kemiskinan di Pedesaan Jakarta Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2014. Brown, Robert McAfee. Gustavo Gutierrez An Introduction to Liberation Theology. Eugene, Oregan Wips and Stock Publisher, 2013. Buntu, Ivan Sampe. “Membaca Teks Dalam Pandangan Poskolonial Catatan Kritis Atas Bacaan Terhadap Teks Kitab Suci.” BIA’ Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen Kontekstual 1, no. 2 2018 179–190. Cavanaugh, William T., Peter Manley Scott ed.. Wiley Blackwell Companion to Political Theology. USA John Wiley & 2019. Gorringe, Tim. “Cult books revisited Gustavo Gutierrez‟s A Theology of Liberation.” Theology 120, no. 4 2017 246-252. Gutiérrez, Gustavo. A Theology Of Liberation History, Politics, And Salvation. Maryknoll, Orbis, 1973. Gutiérrez, Gustavo, and Gerhard Ludwig Müller. On the Side of the Poor The Theology of Liberation. Maryknoll, New York Orbis Books, 2015. Hadiwijono, Harun. Iman Kristen. Jakarta BPK Gunung Mulia, 2016. Jati, Wasito Raharjo. “Agama dan Politik Teologi Pembebasan Sebagai Arena Profetisasi Agama.” Walisongo 22, no. 1 Mei 2014 133-156. Diakses 24 Januari 2019. Lumintang, Stevri I. Theologia Abu-Abu Pluralisme Agama. Malang Gandum Mas, 2004. Mali, Mateus. “Gutiérrez dan Teologi Pembebasan.” Orientasi Baru 25, no. 1 April 2016 19-36. Diakses 22 Januari 2019. Howson, Chris. A Just Church 21st century Liberation Theology in Action NY Continuum International Publishing Group, 2011. Natalie. “Evaluasi Kritis Terhadap Doktrin Gereja Dari Teologi Pembebasan.” Veritas 1, no. 2 Oktober 2000 181-191. Petrella, Ivan. The Future of Liberation Theology An Argument and Manifesto. 1st ed. Routledge, 2017. Accessed March 29, 2019. Sendjaja, Hendri Mulyana. “„Mewartakan Kabar Baik Pembebasan Bersama dan Bagi Yang Miskin, Tertawan dan Tertindas‟ Menghayati Kembali Kehadiran Teologi Pembebasan Amerika Latin dan Perkembangan Mutakhir Teologi-Teologi Pembebasan Asia.” Konsultasi Nasional Mahasiswa Teologi di Indonesia, Jakarta STT IKAT, 2018. Sigmud, Paul E. Liberation theology at the crossroads democracy or revolution? New York Oxford University Press, Inc, 1990. Timmerman, Bobby Steven. “Menghadirkan Yesus Kristus Yang Membebaskan “Para Petani Miskin Yang Tersalib” Di Paroki Mara Satu.” Orientasi Baru 23, no. 1 April 2014 17-29. Diakses 25 Januari 2019. Wijaya, Hengki. “Analisis Biblika Terhadap Konsep Teologi Pembebasan Di Dalam Kekristenan.” Diakses 2 Februari 2019. Wijaya, Hengki. Analisis Data Kualitatif Ilmu Pendidikan Teologi. Makassar Sekolah Tinggi Theologia Jaffray, 2018. Zaluchu, Sonny Eli. Sistematika Riset dan Analisis Data Kuantitatif. Semarang Golden Gate Publishing, 2018. Theodorus MirajiFelicia Irawaty2020 is a tough year for humans due to the Covid-19 pandemic which has attacked all sides of human life. One of the most affected is the human mentality, and this mentality must be restored so that in the post-pandemic era, humans can be active and do everything as before. The church also has a duty to carry out this and the church has teachings that can be given to humans in general and Christians in particular as material for healing, one of which is eschatology which relates to the teachings of Postmillennialism. The method of this research is descriptive method with literature study techniques. Some of the characteristics of Postmillennial teachings are First, Postmillennialists believe that what mankind is waiting for, namely the coming of God's reign, has actually started since the first coming of Jesus. Second, the 1000 year reign is led by Jesus through the church and Third, Postmillennialism believes in the central role of the gospel. From these characteristics, the Postmillennial Viewpoint can contribute to raising hope for the future and as material for Christian Counseling / Pastoral Assistance, contributing to encouraging churches to be actively involved in human life, Postmillennialism Views Encourage evangelism as a human need in the post-pandemic eraSangkot Siraitp>This paper tells the thoughts of two religious figures who are concerned with talking about religion and humanity. These two figures are Abdurrahman Wahid and Gustavo Gutiérrez. The question that will be answered here is how the concept of the liberation of the two figures and where the difference lies and their implications for real life. The issues discussed here are related to theology, more popularly called liberation theology. The method used in this research is to read and examine the work of each of the two figures, both works that are called primary or secondary. After that, the concepts are compared according to their respective contexts. From the results of research on their works, an understanding is obtained that the theology of liberation is inspired by the real conditions of society that are of concern, both in terms of poverty and opportunity. Therefore, according to the two figures, religion must be able to solve the problem, it means that religion practised not only as a doctrine but also humanity. Action work of people who profess religion is needed to solve community problems. There are differences in the approaches of the two figures, namely Gutiérrez is more focused directly involved, while Wahid besides being directly involved, but also with a cultural approach and changing the way people think. The difference between the two approaches has implications for the process of change, namely Gutiérrez is more revolutionary mechanistic, while Wahid is more cultural and evolutionary This paper explains the role of the public sphere based on Jurgen Habermas’s concept and analyzes its relevance for multicultural societies in the Indonesian Context. The public sphere exists to present democracy, tolerance, friendship, inclusivism in diversity, unity in diversity, and education. Indonesia is a country that reflects multiculturalism, can realize peace and unity within a multicultural frame. This article was developed using the Systematic Literature Review SLR method. This paper explains the role of public space based on Jurgen Habermas for interdisciplinary scholarship and its relevance. His findings show Jurgen Habermas's approach through the public sphere can bring about unity and peace in all aspects of life, including differences in beliefs and multicultural contexts.
Salahsatu pertanyaan yang cukup menarik untuk didiskusikan dalam hubungannya dengan sejarah Gereja Perdana adalah sejauh mana ada kesatuan atau perbedaan antara pandangan Petrus, Yakobus dan Paulus, serta sejauh mana pemikiran Paulus menentukan arah perkembangan Gereja di periode-periode selanjutnya. Kesatuan dan Perbedaan dalam Gereja
Cara Hidup Gereja Modern Dalam Kehidupan Masa Kini dan Masa Depan. Bila dibandingkan dengan sejarah gereja mula-mula seperti cara hidup mereka diceritakan dalam Kisah Para Rasul 432-35; Cara hidup gereja di zaman modern cukup jauh berbeda saat ini. Terutama dalam hal cinta, di mana Gereja awal adalah satu-of-a-kind, semua waktu percaya, yang semuanya milik bersama-sama, sehingga mereka hidup dalam rahmat berlimpah dan tidak ada yang kekurangan mereka. Cara di mana kehidupan gereja hari ini tak terbantahkan, itu juga penuh dengan kasih, tetapi ada beberapa perubahan yang membedakan kasih Jemaat Gereja awal dengan Jemaat Gereja hari ini. Sebagai contoh, perbedaan dalam masalah yang dihadapi oleh Gereja awal dengan gereja postmodern, perbedaan dalam kehidupan sehari-hari anggota gereja, waktu dan perbedaan demografis, dan perbedaan lainnya. Cara hidup pertama dari jemaat yang digambarkan dalam Alkitab adalah suatu cara hidup yang harus dibayangkan oleh jemaat hari ini. Tetapi pada Apakah cara hidup gereja saat ini lebih baik, atau lebih buruk, atau sebanyak cara kehidupan Gereja awal perlu dilihat dari berbagai sudut pandang. Namun, setiap hal memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri. Pada artikel ini kita akan berbicara tentang bagaimana untuk hidup sebuah gereja modern. 1. Masalah yang dihadapi oleh gereja gereja modern Tantangan dari Gereja sekarang berbeda dari tantangan Jemaat Gereja awal. Ini menuntun pada beberapa hal dari jalan kehidupan dari Jemaat Gereja awal, tidak cukup relefan, atau sulit dilakukan oleh gereja gereja hari ini. Berikut adalah beberapa masalah yang muncul dalam kehidupan Jemaat Gereja modern Sikap individualis yang muncul di beberapa anggota Jemaat. Tidak seperti Gereja awal, yang merupakan salah satu yang pertama dan sama, dan membuatnya menjadi milik bersama, di gereja modern ada sikap individualis yang mengurangi hubungan simpati empati antara Jemaat. Tidak jarang mengakibatkan satu gereja dengan yang lain tidak bersatu, berjalan sesuai dengan pengertiannya sendiri. Jadi tidak ada kesatuan dimana antarjemaat membangun satu sama lain, untuk tetap bersandar pada Kristus. Teknologi modern yang terus berkembang dikatakan lebih dekat ke kejauhan, tetapi untuk tetap dekat. Hal ini juga sangat berpengaruh dalam kehidupan Jemaat Gereja baca kebaktian singkat Kekristenan. Buatlah Jemaat sibuk dengan dunia maya, jadi malah membuatnya menjauh dari Jemaat dekat. Untuk mengurangi waktu bersekutu antar-jemaat, sehingga kurangnya persatuan dan penguatan Jemaat modern. Tuntutan hari ini untuk pekerjaan meningkat, membuat gereja modern waktu banyak disita oleh masing-masing karya. Jadi adalah mungkin untuk bersekutu dengan para saudara, bahkan mereka mengalami kesulitan untuk menyisihkan waktu bagi keluarga atau untuk pribadinya sendiri. Dengan demikian keabsahan Jemaat tidak dibangunkan, karena hubungan antara Jemaat tidak cukup dekat. Seringkali Jemaat datang ke tempat beribadah hanya sebagai rutinitas, untuk memenuhi kewajiban keagamaan. Tidak menyadari perlunya saling menguatkan satu sama lain, dan saling membantu di antara Jemaat Gereja. Perbedaan dalam tingkat kekayaan antara jemaat dan lain-lain juga merupakan masalah. Sering kali ketika gereja yang lebih kaya ingin memperkuat persatuan dengan gereja yang kurang mampu, gereja yang kurang mampu merasa lebih berani dan bukannya menjauhkan diri. Demikian pula, sebaliknya, terkadang ada Jemaat yang kurang mampu memperkuat kesatuan dengan jemaat yang kaya, jemaat yang kaya takut bahwa gereja yang kurang mampu ingin mengambil MANFA dari kekayaannya, ketika tidak demikian. 2. Relevansi jalan gereja mula-mula dengan cara hidup gereja modern Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, masalah yang dihadapi oleh Gereja Gereja awal berbeda dengan masalah yang dihadapi Jemaat Gereja modern. Waktu dan demografi kehidupan Gereja awal juga berbeda, sehingga hidup kembali dari Gereja Gereja awal dalam kehidupan gereja gereja yang modern perlu dipertimbangkan, dilihat dari berbagai sudut. Dari konteks demografi, jemaat pertama datang dari bangsa yang sama, yakni Yahudi dan agama yang sama yang merupakan Judaisme baca Bagaimana memasukkan Kisten. Selain itu, sebagian besar jemaat berada di satu tempat yang tidak terlalu jauh, sehingga lebih mudah bagi mereka untuk berkumpul. Dari konteks penderitaan yang dihadapi, Gereja awal sama-sama mengalami penganiayaan yang luar biasa. Mereka dikucilkan oleh orang Yahudi lain yang tidak percaya kepada Tuhan Yesus, juga oleh orang Roma yang menjajah mereka. Diskriminasi yang diterima oleh Gereja awal terjadi di berbagai bidang, termasuk dalam hukum dan ekonomi, dipecat dari pekerjaan atau rumit dalam perdagangan misalnya. Justru itu, Jemaat awal mempunyai paksaan kepada Bersat, yang dimanifestasikan dalam membagi kekayaan satu bahan. Dalam konteks pemimpin gereja Authority, Gereja awal dipimpin langsung oleh para rasul. Keunikan yang tidak akan diulang di era modern seperti sekarang ini. 3. bagaimana menjalankan Gereja Gereja yang gereja modern dapat diterapkan Beberapa hal dalam kehidupan Gereja awal mungkin tidak relevan untuk dilakukan saat ini, seperti berkumpul bersama setiap hari dan saling berbagi harta milik orang lain sebagai milik bersama dibaca Bertobatlah umat Kristen. Tetapi beberapa hal keagamaan di bawah ini adalah contoh dari Jemaat awal yang sekarang diterapkan dalam cara hidup gereja modern Rasa kerinduan dan kehausan bagi Allah, firman-Nya akan. Agar para anggota Jemaat Gereja diimbau untuk melakukan pelayanan yang tulus dan sukarela dari gereja. Berdoa, sementara teduh, membaca firman Allah dengan tekun didorong oleh rasa rindu untuk lebih dekat, lebih untuk mengenal Allah. Semangat untuk berkumpul dan bersekutu dengan sesama anggota gereja. Mempertahankan satu sama lain dalam iman, memperkuat yang lemah, menghibur yang sedih, membantu kekurangan, dll. Melakukan Perjamuan Suci supaya Jemaat jemaat selalu diingatkan akan penderitaan dan penebusan Yesus Kristus, dan janji Tuhan Yesus kepada orang percaya. Persekutuan dalam doa. Jadi beberapa kehidupan dalam bentuk gereja modern yang dapat Anda ketahui, sehingga dapat menjadi contoh dalam peribadatan Anda.

Teknologidalam Perkembangan Gereja pada Masa Kini di Era Revolusi Industri 4.0 Itu sebabnya di dalam Perjanjian Baru rasul Yohanes mengajarkan bahwa 'Allah itu kasih'. Allah tidak 'memiliki' kasih, Allah itulah kasih adanya (God does not have love, God is love). Messi, Salah, dan Mane Raih Gelar Perdana di Musim 2022/2023 Info dari

Apa Kamu Masih Beribadah Seperti Cara Gereja Mula-mula? seven Fakta Ini Perlu Kamu Tahu… Lori Official Writer Di masa Yesus, Dia dan murid-murid-Nya selalu berkumpul di hari pertama setiap minggunya. Mereka juga suka datang ke ibadah-ibadah di sinagoge dengan teratur. Tapi setelah kebangkitan Yesus, murid-murid-Nya tak lagi diterima di sinagoge. Hal ini mendorong murid-murid untuk mengadakan pertemuan mingguan mereka dengan berkumpul bersama. Tujuannya pun sangat sederhana yaitu untuk mengingat segala perbuatan Yesus. Itulah yang kemudian dikenal dengan kebiasaan gereja mula-mula. Tapi sekarang, tradisi berkumpul itu mulai berubah menjadi perkumpulan dengan tujuan yang berbeda-beda dari satu gereja dengan gereja yang lain. Gereja saat ini mulai kehilangan fokusnya kepada Tuhan sendiri. Ada beberapa gereja yang hanya berkumpul untuk tujuan belajar tentang bisnis, membangun diri sendiri, belajar soal moralitas dan belajar kunci menjadi kaya. Beberapa gereja lain berkumpul untuk mendengar khotbah atau guru terkenal. Alasannya bisa bermacam-macam. Padahal, orang-orang Kristen seharusnya menyadari kalau ada tujuan yang paling mendasar dari sekadar alasan seperti di atas. Berikut terdapat 7 perbedaan ibadah atau perkumpulan gereja mula-mula dengan gereja saat ini. Mereka biasanya berkumpul bersama untuk tujuan-tujuan ini. 1. Merayakan Hari Tuhan Jemaat gereja mula-mula berkumpul bukan untuk sekadar mencari pemuasan diri atau mencari pengetahuan rohani dari pendeta kenamaan. Tapi mereka berkumpul secara khusus untuk merayakan hari Tuhan. Mereka memfokuskan diri untuk mengingat soal kematian dan kebangkitan-Nya. Mungkin kita perlu memperbaiki bagaimana kita menyebutkan Hari Minggu’ dengan Hari Tuhan’. Salah satu referensi Alkitab yang mengingatkan kita soal hal ini adalah dari ucapan Yohanes di Wahyu 1 10, “Pada hari Tuhan aku dikuasai oleh Roh dan aku mendengar dari belakangku suatu suara yang nyaring, seperti bunyi sangkakala…” 2. Bersekutu dalam kesatuan Jemaat gereja mula-mula bersekutu dalam kesatuan. Mereka melakukan hal itu sebagai deklarasi bersama bahwa gereja Tuhan itu satu baca Roma 10 9, one Korintus 12 3, Filipi ii 6-eleven, one Timotius 2 5, three 16. Dari sinilah pengakuan Iman Rasuli ada sebagai janji iman orang percaya kepada tritunggal, Bapa, Putra dan Roh Kudus. 3. Mendengar firman Tuhan Sepanjang ibadah atau perkumpulan orang-orang percaya di jaman gereja mula-mula akan dipenuhi dengan pembacaan firman Tuhan. Mereka menjalankan ibadah pembacaan Alkitab bersama atau yang disebut dengan liturgi. Sebagian besar isi kitab suci akan dibacakan sembari mengajak semua umat berdiri, setelah itu duduk kembali. Kebiasaan ini persis seperti ibadah di sinagoge dan menjadi simbol dari penghormatan kepada firman Tuhan baca 1 Tesalonika 5 27 dan Kolose 4 16. iv. Berdoa bersama Sebagai jemaat yang menjunjung kesatuan, jemaat gereja mula-mula selalu ibadah dan berdoa bersama. Kita melihat contoh ini dalam Kisah Para Rasul four. “Sesudah dilepaskan pergilah Petrus dan Yohanes kepada teman-teman mereka, lalu mereka menceriterakan segala sesuatu yang dikatakan imam-imam kepala dan tua-tua kepada mereka. Ketika teman-teman mereka mendengar hal itu, berserulah mereka bersama-sama kepada Allah..” Kisah 4 23-24a Para rasul juga selalu punya jam doa sebanyak tiga kali sehari. Doa-doa ini meliputi doa umum bagi semua orang. Baca Juga 12 Tingkah Nyeleneh yang Banyak Dilakuin Jemaat Gereja Saat Ibadah, Kamu Salah Satunya Gak five. Menghormati bait Allah Jemaat gereja mula-mula punya pemikiran yang sangat berbeda dengan gereja saat ini. Mereka percaya kalau saat beribadah, Tuhan dan juga malaikat-malaikat-Nya hadir di tengah-tengah mereka. Karena itulah mereka akan memasuki ruang maha kudus dengan penuh penghormatan, baik dari penampilan, sikap dan penyembahan. Mereka percaya bahwa menyembah Tuhan harus seperti yang dilakukan di surga. half-dozen. Kerap menggelar perjamuan kudus Gereja mula-mula kerap menggelar perjamuan kudus setiap minggunya. Mereka menyebutnya Ekaristi yang artinya perjamuan ucapan syukur. Perjamuan ini menjadi bentuk pernghormatan dan ucapan terima kasih kepada Yesus atas kematian-nya. Selain itu, mereka juga percaya bahwa dengan tubuh dan darah Yesus, mereka telah ditebus sepenuhnya dari dosa. Hal ini persis seperti yang dilakukan Yesus dalam peristiwa pelipatgandaan roti dan ikan. 7. Tetap menghormati Maria Orang Kristen mula-mula sangat menghormati peran Maria dalam keselamatan umat manusia melalui Yesus. Karena itulah mereka menyebutnya sebagai Pembawa Tuhan’ dalam artian wanita yang telah mengandung Tuhan. Karena itulah dia patut disebut dengan Bunda Allah’. Penghormatan ini masih sangat kental di Katolik. Sebaliknya, gereja karismatik maupun protestan Lutheran tak begitu menonjolkan Maria, namun rasa hormat atas kepatuhannya dan perannya dalam kedatangan Yesus tak pernah berkurang. Bagi gereja saat ini, Maria masih tetap jadi tokoh wanita Alkitab yang patut diteladani. Demikian beberapa fakta yang bisa kita pelajari dari cara hidup jemaat gereja mula-mula. Dan mari belajar untuk mengembalikan ibadah yang sejati kepada Tuhan. Jangan pernah mengubah tujuan penyembahan kita hanya untuk agenda-agenda duniawi kita. Sebab Tuhan memanggil gereja-Nya untuk memberitakan tentang kabar keselamatan yang dilakukannya kepada semua orang dan bangsa. Karena itulah Yesus harus jadi kepala atas setiap gereja-Nya. Sumber Halaman one nT12BSK.
  • 42rp5y2e6m.pages.dev/202
  • 42rp5y2e6m.pages.dev/406
  • 42rp5y2e6m.pages.dev/239
  • 42rp5y2e6m.pages.dev/229
  • 42rp5y2e6m.pages.dev/86
  • 42rp5y2e6m.pages.dev/93
  • 42rp5y2e6m.pages.dev/510
  • 42rp5y2e6m.pages.dev/130
  • perbedaan gereja perdana dan gereja masa kini