AsbabulNuzul Al-Maidah 51 Menurut Al-Baghawi. Memahami konteks turun ayat, atau lazim disebut asbabul nuzul, penting untuk memahami keutuhan makna ayat. Apalagi sebagian ayat diturunkan pada konteks tertentu dan spesifik, sekalipun kandungannya bersifat global, universal, dan tidak hanya diperuntukkan pada masa itu saja. Terkait Surah Al
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَنْ تَسْتَقْسِمُوا بِالْأَزْلَامِ ذَلِكُمْ فِسْقٌ الْيَوْمَ يَئِسَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ دِينِكُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِإِثْمٍ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ 3 Diharamkan bagi kalian memakan bangkai, darah, daging ba­bi, daging hewan yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang di­terkam binatang buas, kecuali yang sempat kalian menyembelih­nya, dan diharamkan bagi kalian yang disembelih untuk berha­la. Dan diharamkan juga mengundi nasib dengan anak panah, mengundi nasib dengan anak panah itu adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk mengalahkan agama kalian, sebab itu janganlah kalian takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Kucukupkan kepada kalian NikmatKu. dan telah Kuridai Islam itu jadi agama bagi kalian. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa. sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Allah Swt. memberitahukan kepada hamba-hamba-Nya melalui kali­mat berita ini yang di dalamnya terkandung larangan memakan bang­kai-bangkai yang diharamkan. Yaitu hewan yang mati dengan sendiri­nya tanpa melalui proses penyembelihan, juga tanpa melalui proses pemburuan. Hal ini tidak sekali-kali diharamkan, melainkan karena padanya terkandung mudarat bahaya, mengingat darah pada hewan-hewan tersebut masih tersekap di dalam tubuhnya; hal ini berbahaya bagi agama dan tubuh. Untuk itulah maka Allah mengharamkannya. Tetapi dikecualikan dari bangkai tersebut yaitu ikan, karena ikan tetap halal, baik mati karena disembelih ataupun karena penyebab lainnya. Hal ini berdasarkan kepada apa yang telah diriwayatkan oleh Imam Malik di dalam kitab Muwatta '-nya, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad di dalam kitab musnad masing-masing, Imam Abu Daud, Imam Turmuzi, Imam Nasa’i, dan Imam Ibnu Majah di dalam kitab sunnah mereka, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Hibban di dalam kitab sahih masing-masing, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Saw. per­nah ditanya mengenai air laut. Maka beliau Saw. menjawab "هُوَ الطَّهُور مَاؤُهُ الحِلُّ مَيْتَتُهُ Laut itu airnya suci dan menyucikan lagi halal bangkainya. Hal yang sama dikatakan terhadap belalang yakni bangkainya, me­nurut hadis yang akan dikemukakan berikutnya. **** Firman Allah Swt. {وَالدَّمُ} dan darah. Al-Maidah 3 Yang dimaksud dengan darah ialah darah yang dialirkan. Sama pe­ngertiannya dengan ayat lain, yaitu firman-Nya {أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا} atau darah yang mengalir. Al-An'am 145 Demikianlah menurut Ibnu Abbas dan Sa'id ibnu Jubair. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Kasir ibnu Syihab Al-Mizhaji, telah menceritakan kepada kami Mu­hammad ibnu Sa'id ibnu Sabiq, telah menceritakan kepada kami Amr yakni Ibnu Qais, dari Sammak, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bah­wa ia pernah ditanya mengenai limpa. Maka ia menjawab, "Makanlah limpa itu oleh kalian." Mereka berkata, 'Tetapi limpa itu adalah da­rah?" Maka Ibnu Abbas menjawab, "Sesungguhnya yang diharamkan atas kalian itu hanyalah darah yang mengalir." Hal yang sama diriwayatkan oleh Hammad ibnu Salamah, dari Yahya ibnu Sa'id, dari Al-Qasim, dari Siti Aisyah yang mengatakan bahwa sesungguhnya darah yang dilarang itu hanyalah darah yang mengalir. قَالَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ مُحَمَّدُ بْنُ إِدْرِيسَ الشَّافِعِيُّ حَدَّثَنَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ، عَنْ أَبِيهِ عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ "أحِلَّ لَنَا مَيْتَتَانِ ودمان، فأما الميتتان فالحوت والجراد، وأما الدمان فَالْكَبِدُ وَالطُّحَالُ". Abu Abdullah Muhammad ibnu Idris Asy-Syafii mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam, dari ayahnya, dari Ibnu Umar secara marfu’ bahwa Ra­sulullah Saw. telah bersabda Dihalalkan bagi kita dua jenis bangkai dan dua jenis darah. Adapun dua jenis bangkai yaitu ikan dan belalang, dan dua jenis darah yaitu hati dan limpa. Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Ahmad ibnu Hambal, Ibnu Majah, Ad-Daruqutni, dan Imam Baihaqi melalui hadis Abdur Rah­man ibnu Zaid ibnu Aslam yang menurut Imam Baihaqi dinilai daif. Diriwayatkan oleh Ismail ibnu Abu Idris, dari Usamah, Abdullah dan Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam, dari Ibnu Umar secara marfu'. Menurut kami, ketiga-tiganya daif tetapi sebagian dari mereka lebih baik daripada sebagian yang lain. Sulaiman ibnu Bilal —salah seorang yang dinilai Sabat kuat— telah meriwayatkannya dari Zaid ibnu Aslam, dari Ibnu Umar secara mauauf hanya sampai pada Ibnu Umar menurut sebagian dari mereka. Menurut Abu Zar'ah Ar-Razi, yang mengatakan mauquf lebih sahih. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Hasan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdul Malik ibnu Abusy Syawarib, telah menceritakan kepada kami Basyir ibnu Syuraih, dari Abu Galib, dari Abu Umamah yaitu Sada ibnu Ajlan yang menceritakan, "Rasulullah Saw. pernah mengutusku kepada suatu kaum untuk menyeru mereka kepada Allah dan Rasul-Nya dan mengajarkan kepada mereka syariat Islam. Lalu aku datang kepada mereka. Ketika kami sedang bertugas, tiba-tiba mereka datang membawa sepanci darah yang telah dimasak manis, kemudian me­reka mengerumuninya dan menyantapnya. Mereka berkata, 'Kemarilah hai Sada, makanlah bersama kami'." Sada berkata, "Celakalah kalian, sesungguhnya aku datang kepa­da kalian dari seseorang Nabi yang mengharamkan makanan ini atas kalian, maka terimalah larangan darinya ini." Mereka bertanya, "Apa­kah hal yang melarangnya?" Maka aku Sada membacakan kepada mereka ayat ini, yaitu firman-Nya Diharamkan bagi kalian memakan bangkai dan darah. Al-Maidah 3, hingga akhir ayat. Al-Hafiz Abu Bakar ibnu Murdawaih meriwayatkannya melalui hadis Ibnu Abusy Syawarib berikut sanadnya dengan lafaz yang semisal. Ia menambahkan sesudah konteks ini bahwa Sada melanjutkan kisah­nya, "Maka aku bangkit mengajak mereka untuk masuk Islam, tetapi mereka membangkang terhadapku, lalu aku berkata, 'Celakalah kalian ini, berilah aku air minum, karena sesungguhnya aku sangat haus.' Saat itu aku memakai jubah 'abayah-ku. Mereka menjawab, 'Kami ti­dak mau memberimu air minum dan kami akan biarkan kamu hingga mati kehausan.' Maka aku menderita karena kehausan, lalu aku tutupkan kain 'abayah-ku ke kepalaku dan tidur di padang pasir di panas yang sangat terik. Dalam tidurku aku bermimpi kedatangan se­seorang yang datang membawa sebuah wadah dari kaca yang sangat indah dan belum pernah dilihat oleh manusia. Di dalam wadah itu ter­dapat minuman yang manusia belum pernah merasakan minuman yang selezat itu. Lalu orang tersebut menyuguhkan minuman itu ke­padaku dan aku langsung meminumnya. Setelah selesai minum, aku terbangun. Demi Allah, aku tidak merasa kehausan lagi dan tidak per­nah telanjang tidak berpakaian lagi sesudah mereguk minuman ter­sebut." Imam Hakim meriwayatkannya di dalam kitab Mustadrak-nya, dari Ali ibnu Hammad, dari Abdullah ibnu Ahmad ibnu Hambal, te­lah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Salamah ibnu Ayyasy Al-Amiri, telah menceritakan kepada kami Sadaqah ibnu Haram, dari Abu Galib, dari Abu Umamah, lalu ia menuturkan hadis yang semi­sal. Menurut riwayat ini ditambahkan sesudah kalimat "sesudah me­reguk minuman tersebut" hal berikut, yaitu "Maka aku Sada men­dengar mereka mengatakan, 'Orang yang datang kepada kalian ini da­ri kalangan orang hartawan kalian. Mengapa kalian tidak menyuguh­kan minuman susu dan air kepadanya?" Maka mereka menyuguhkan minuman air susu yang dicampur dengan air, dan aku katakan kepada mereka, 'Aku tidak memerlukannya lagi. Sesungguhnya Allah telah memberiku makan dan minum.’ lalu aku perlihatkan kepada mereka perutku, hingga semuanya percaya bahwa aku telah kenyang." Alangkah baiknya apa yang didendangkan oleh Al-A'sya se­orang penyair dalam qasidah syairnya yang diriwayatkan oleh Ibnu Ishak, yaitu وإياكَ وَالْمَيْتَاتِ لَا تقربنَّها ... وَلَا تَأْخُذَنَّ عَظْمًا حَدِيدًا فَتَفْصِدَا ... Hindarilah olehmu bangkai-bangkai itu, jangan sekali-kali kamu mendekatinya, dan jangan sekali-kali kamu mengambil tulang yang tajam, lalu kamu menyedot darah ternak yang hidup. Dengan kata lain, janganlah kamu lakukan perbuatan Jahiliah. Demi­kian itu karena seseorang dari mereka bila merasa lapar, ia mengam­bil sesuatu yang tajam dari tulang dan lainnya, kemudian ia menyedot darah ternak untanya atau ternak dari jenis lainnya. Kemudian ia kumpulkan darah yang keluar dari ternak itu, lalu meminumnya. Ka­rena itulah Allah rnengharamkan darah atas umat ini. Kemudian Al-Asya’ mengatakan pula وَذَا النّصُب المنصوبَ لَا تَأتينّه ... وَلَا تَعْبُدِ الْأَصْنَامَ وَاللَّهَ فَاعْبُدَا ... Dan tugu yang dipancangkan itu jangan sekali-kali kamu da­tangi, dan janganlah kamu sembah berhala, tetapi sembahlah Allah dengan sebenar-benarnya. ***** Firman Allah Swt, {وَلَحْمُ الْخِنزيرِ} dan daging babi. Al-Maidah 3 Yaitu baik yang jinak maupun yang liar. Pengertian lahm mencakup semua bagian tubuh babi, hingga lemaknya. Dalam hal ini tidak di­perlukan pemahaman yang 'sok pintar' dari kalangan mazhab Zahiri dalam kestatisan mereka menanggapi ayat ini dan pandangan mereka yang keliru dalam memahami makna firman-Nya {فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا} —karena sesungguhnya semua itu kotor—atau binatang. Al-An'am 145 Dalam konteks firman-Nya {إِلا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنزيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ} kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi —karena sesungguhnya semuanya itu kotor— Al-An'am 145 Mereka merujukkan damir yang ada pada lafaz fainnahu kepada lafaz khinzir dengan maksud agar mencakup semua bagian tubuhnya. Pada­hal pemahaman ini jauh dari kebenaran menurut penilaian lugah ba­hasa, karena sesungguhnya damir itu tidak dapat dirujuk kecuali ke­pada mudaf, bukan mudafilaih. Menurut pengertian lahiriah, kata daging’ mempunyai pengertian yang mencakup semua anggota tubuh dalam terminologi bahasa, juga menurut pengertian tradisi yang berlaku. Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan dari Buraidah ibnul Khasib Al-Aslami yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. per­nah bersabda "مَنْ لَعِبَ بالنردَشير فَكَأَنَّمَا صَبَغَ يَدَهُ فِي لَحْمِ الْخِنْزِيرِ وَدَمِهِ" Barang siapa yang bermain nartsyir karambol, maka seakan-akan mencelupkan tangannya ke dalam daging dan darah babi. Dengan kata lain, bilamana peringatan ini hanya sekadar menyentuh, maka dapat dibayangkan kerasnya ancaman dan larangan bila mema­kan dan menyantapnya. Di dalam hadis ini terkandung makna yang menunjukkan mencakup pengertian daging terhadap semua anggota tubuh, termasuk lemak dan lain-lainnya. Di dalam kitab Sahihain disebutkan bahwa Rasulullah Saw. per­nah bersabda "إِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ بَيْعَ الْخَمْرِ وَالْمَيْتَةِ وَالْخِنْزِيرِ وَالْأَصْنَامِ". فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَرَأَيْتَ شُحُومَ الْمَيْتَةِ، فَإِنَّهَا تُطْلَى بِهَا السُّفُنُ، وَتُدْهَنُ بِهَا الْجُلُودُ، ويَسْتَصبِحُ بِهَا النَّاسُ؟ فَقَالَ "لَا هُوَ حَرَامٌ". Sesungguhnya Allah mengharamkan jual beli khamr. bangkai, daging babi, dan berhala. Maka diajukan pertanyaan, "Wahai Rasulullah, bagaimanakah menu­rutmu tentang lemak bangkai? Karena sesungguhnya lemak bangkai dipakai sebagai dempul untuk melapisi perahu dan dijadikan sebagai minyak untuk kulit serta dipakai sebagai minyak lampu penerangan oleh orang-orang," Rasulullah Saw. menjawab Jangan, itu tetap haram. Di dalam kitab Sahih Bukhari melalui hadis Abu Sufyan disebutkan bahwa Abu Sufyan mengatakan kepada Heraklius, Raja Romawi, "Beliau Nabi Saw. melarang kami memakan bangkai dan darah." **** Firman Allah Swt. {وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ} dan daging hewan yang disembelih atas nama selain Allah. Al-Maidah 3 Yaitu hewan yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah, hewan tersebut menjadi haram. Karena Allah Swt mengharuskan bila makhluk-Nya disembelih agar disebut asma-Nya Yang Mahaagung. Oleh karena itu, manakala hal ini disimpangkan diselewengkan dan disebutkan pada hewan tersebut nama selain Allah ketika hendak me­nyembelihnya, misalnya nama berhala atau tagut atau wasan atau makhluk lainnya, maka sembelihan itu hukumnya haram menurut ke­sepakatan semua. Para ulama hanya berselisih pendapat mengenai tidak membaca tasmiyah Basmalah dengan sengaja atau lupa, seperti yang akan di­terangkan nanti dalam tafsir surat Al-An'am. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Hasan As-Sanjani, telah menceritakan kepada kami Na'im ibnu Hammad, telah menceritakan kepada kami Ibnu Fudail, dari Al-Walid ibnu Jami', dari Abut Tufail yang mengatakan bahwa Nabi Adam diturunkan dalam keadaan diharamkan empat perkara, yaitu bangkai, darah, daging babi, dan hewan yang disembelih atas nama selain Allah. Sesungguhnya keempat perkara ini belum pernah di­halalkan sama sekali, dan masih tetap haram sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Ketika zaman kaum Bani Israil, Allah mengharam­kan atas mereka makanan yang baik-baik yang dahulunya dihalalkan bagi mereka, karena dosa-dosa mereka. Ketika Allah mengutus Nabi Isa ibnu Maryam ia mengembalikan kepada hukum pertama yang didatangkan oleh Nabi Adam, dan dihalalkan bagi mereka selain hal-hal tersebut, tetapi mereka mendustakannya dan mendurhakainya. Asar ini dinilai garib. Ibnu Abu Hatim mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Yunus, telah menceritakan kepada kami Rib'i, dari Abdullah yang mengata­kan bahwa ia pernah mendengar Al-Jarud ibnu Abu Sabrah kakek Abdullah meriwayatkan asar berikut, bahwa dahulu ada seorang le­laki dari kalangan Bani Rabah yang dikenal dengan nama Ibnu Wail. Dia adalah seorang penyair, ia menantang Abul Farazdaq, melakukan suatu pertandingan di sebuah mata air yang ada di luar kota Kufah. Masing-masing dari kedua belah pihak menyembelih seratus ekor un­tanya jika telah sampai di mata air siapa yang paling cepat di antara keduanya, dialah yang menang. Ketika ternak unta telah sampai di mata air tersebut, keduanya bersiap-siap dengan pedang masing-ma­sing dan mulai memegang leher ternaknya. Maka orang-orang berdatangan dengan mengendarai keledai dan begal dengan maksud ingin mendapat dagingnya. Sedangkan saat itu sahabat Ali berada di Kufah. Lalu sahabat Ali keluar dengan mengendarai hewan begal berwarna putih milik Rasulullah Saw., lalu ia berseru kepada orang-orang, "Hai manusia, janganlah kalian memakan dagingnya, karena sesungguhnya daging tersebut hasil sembelihan yang tidak disebutkan asma Allah padanya!" Asar ini garib. Tetapi ada syahid yang membuktikan ke­sahihannya, yaitu sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud. حَدَّثَنَا هَارُونُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ مَسْعَدة، عَنْ عَوْفٍ، عَنِ أَبِي رَيْحانة، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ مُعاقرة الْأَعْرَابِ. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Harun ibnu Abdullah, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Mas-'adah, dari Auf, dari Abu Raihanah, dari Ibnu Abbas yang mengata­kan Rasulullah Saw. melarang memakan daging dari pertandingan orang-orang Badui menyembelih ternak unta. Kemudian Imam Abu Daud mengatakan bahwa Muhammad ibnu Ja'far yaitu Gundar me-mauquf-kan hadis ini pada Ibnu Abbas. Hadis diriwayatkan oleh Imam Abu Daud secara munfarid. وَقَالَ أَبُو دَاوُدَ أَيْضًا حَدَّثَنَا هَارُونُ بْنُ زَيْدِ بْنِ أَبِي الزَّرْقَاءِ، حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا جَرِيرُ بْنُ حَازِمٍ، عَنِ الزُّبَيْرِ بْنِ خِرِّيتٍ قَالَ سَمِعْتُ عِكْرِمة يَقُولُ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ طَعَامِ الْمُتَبَارِيَيْنِ أَنْ يُؤْكَلَ. Imam Abu Daud mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Harun ibnu Zaid ibnu Abuz Zarqa, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Jarir ibnu Hazim, dari Az-Zubair ibnu Hurayyis yang mengatakan bahwa ia pernah mende­ngar Ikrimah mengatakan Sesungguhnya Rasulullah Saw. melarang memakan makanan ha­sil pertandingan menyembelih yang dilakukan oleh orang-orang yang bertanding. Kemudian Abu Daud mengatakan bahwa kebanyakan orang yang meriwayatkannya —selain Ibnu Jarir— tidak menyebutkan pada sanad­nya nama Ibnu Abbas. Hadis ini diriwayatkan secara munfarid pula. **** Firman Allah Swt. {وَالْمُنْخَنِقَةُ} dan hewan yang tercekik.Al-Maidah 3 Yaitu hewan ternak yang mati tercekik, baik disengaja ataupun karena kecelakaan, misalnya tali pengikatnya mencekiknya karena ulahnya sendiri hingga ia mati; maka hewan ini haram dagingnya. Makna lafaz {الْمَوْقُوذَةُ} mauquzah artinya hewan yang mati dipukuli dengan benda berat, tetapi tidak tajam. Menurut Ibnu Abbas dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang, mauauzah ialah hewan yang dipukuli de­ngan kayu hingga sekarat, lalu mati. Qatadah mengatakan, orang-orang Jahiliah biasa memukuli he­wannya dengan tongkat sampai mati, lalu mereka memakannya. Di dalam kitab sahih disebutkan bahwa Addi ibnu Hatim pernah bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku membidik hewan bu­ruan dengan lembing dan mengenainya." Rasulullah Saw. bersabda "إِذَا رَمَيْتَ بِالْمِعْرَاضِ فخَزَق فَكُلْه، وَإِنْ أَصَابَهُ بعَرْضِه فَإِنَّمَا هُوَ وَقِيذ فَلَا تَأْكُلْهُ" Apabila kamu melempar buruan dengan lembingmu, lalu menu­suknya, maka makanlah. Jika yang mengenainya adalah bagian sampingnya, sesungguhnya hewan buruan itu mati terpukul, ma­ka janganlah kamu memakannya. Dalam hal ini dibedakan antara sasaran yang dikenai oleh anak panah dan tombak serta sejenisnya, yakni dengan bagian yang tajamnya, maka hukumnya halal. Sedangkan hewan yang dikenai oleh bagian sampingnya maka hewan itu dihukumi mati karena terpukul, sehingga tidak halal. Demikianlah yang disepakati di kalangan ulama fiqih. Mereka berselisih pendapat dalam masalah bila hewan pemburu menabrak hewan buruannya, lalu hewan buruan itu mati karena tubuh hewan pemburu yang berat, tanpa melukainya. Ada dua pendapat me­ngenainya. Imam Syafii mempunyai dua pendapat sehubungan de­ngan masalah ini, yaitu Pertama, tidak halal. Perihalnya sama dengan masalah melempar buruan dengan anak panah dan yang mengenainya adalah bagian samping dari anak panah. Segi persamaannya adalah karena masing-masing hewan itu mati tanpa dilukai, dan penyebab matinya adalah terpukul. Kedua, halal, mengingat ketentuan hukum yang membolehkan memakan hasil buruan anjing pemburu tidak memakai rincian. Hai ini menunjukkan boleh memakan hasil buruannya yang tidak dilukai tetapi matinya karena tertabrak oleh anjing pemburu, karena hal ini termasuk ke dalam pengertian umum dari hukum tersebut. Sehubungan dengan masalah ini kami membuat suatu pasal khu­sus seperti penjelasan berikut. Sebuah pasal Para ulama berbeda pendapat sehubungan dengan masalah bila seseorang melepaskan anjing pemburunya untuk menge­jar hewan buruan, lalu hewan buruan tersebut mati karena tertabrak oleh anjing pemburu tanpa melukainya. Apakah hukum hewan buruan itu halal atau tidak? Ada dua pendapat untuk menjawabnya, seperti penjelasan berikut Pendapat pertama mengatakan bahwa hewan buruan tersebut halal karena termasuk ke dalam pengertian umum firman Allah Swt. yang mengatakan {فَكُلُوا مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ} Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untuk kalian. Al-Maidah 4 Termasuk pula ke dalam pengertian umum hadis yang diceritakan oleh Addi ibnu Hatim di atas. Demikianlah pendapat yang diriwayatkan oleh murid-murid Imam Syafii. dari Imam Syafii, dan dinilai sahih oleh sebagian kalangan ulama muta-akhkhirin, antara lain seperti Imam Nawawi dan Imam Rafii. Menurut kami. hal tersebut kurang jelas dari pendapat Imam Syafi’i rahimahullah di dalam kitab Al-Umm dan Al-Mukhtasar. Kare­na sesungguhnya dalam kedua kitab tersebut ia mengatakan hal yang mengandung dua makna. Kemudian ia mengemukakan alasannya ma­sing-masing, lalu murid-muridnya menginterpretasikannya dari kete­rangan tersebut Kemudian mereka mengatakan sehubungan dengan masalah ini ada dua pendapat darinya Imam Syafii. Hanya saja pada pendapat yang mengatakan halal, Imam Syafii agak menonjolkan kecenderungannya; tetapi pada garis besarnya dia tidak menegaskan sa­lah satunya, tidak pula menjelaskan pendiriannya. Pendapat yang mengatakan halal darinya dinukil oleh Ibnus Sabbagh, dari Abu Hanifah melalui riwayat Al-Hasan ibnu Ziyad, tetapi tidak disebutkan pendapat lainnya. Abu Ja'far ibnu Jarir, dia meriwayatkannya di dalam kitab tafsir, dari Salman Al-Farisi dan Abu Hurairah, dan Sa'd ibnu Abu Waqqas serta Ibnu Umar. Tetapi riwayat ini gorib sekali, mengingat tidak di­temukan adanya keterangan yang menjelaskan hal tersebut yang ber­sumberkan dari mereka, melainkan hanya keluar dari ijtihad Imam Syafii sendiri. Pendapat kedua mengatakan bahwa hewan tersebut tidak halal. Pen­dapat ini merupakan salah satu dari dua pendapat yang bersumber dari Imam Syafii rahimahullah Pendapat ini dipilih oleh Al-Muzanni, dan dari ulasan Ibnus Sabbag tampak jelas bahwa dia menguatkannya. Abu Yusuf dan Muhammad meriwayatkannya dari Abu Hanifah. Pendapat ini merupakan pendapat yang terkenal dari Imam Ahmad ibnu Hambal dan lebih mendekati kepada kebenaran, karena lebih se­suai dengan kaidah-kaidah Usul serta lebih menyentuh pokok-pokok syariat. Ibnus Sabbag mengemukakan dalil untuk pendapat ini dengan se­buah hadis yang diceritakan oleh Rafi' ibnu Khadij, yaitu قُلْتُ يَا رَسُولَ الله، إنا لاقو العدو غدا وليس معنا مُدًى، أَفَنَذْبَحُ بالقَصَب؟ قَالَ "مَا أَنْهَرَ الدَّمَ وَذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ فَكُلُوهُ" "Aku ber­tanya, 'Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami akan bersua dengan musuh besok, sedangkan kami tidak mempunyai pisau. Bolehkah kami menyembelih dengan aasab welat bambu'?" Rasulullah Saw. menjawab Apa saja yang dapat mengalirkan darah dan disebutkan asma Allah ketika menyembelihnya, maka makanlah sembelihan itu oleh kalian. Hadis secara lengkapnya terdapat di dalam kitab Sahihain. Hukum ini sekalipun dinyatakan karena penyebab yang khusus, tetapi hal yang dianggap ialah keumuman lafaznya menurut jumhur ulama usul dan ulama fiqih. Perihalnya sama dengan suatu pertanyaan yang pernah diajukan kepada Nabi Saw. mengenai al-bit'u, yaitu mi­numan nabiz yang terbuat dari madu. Beliau Saw. menjawab melalui sabdanya "كُلُّ شَرَابٍ أَسْكَرَ فَهُوَ حَرَامٌ" Semua jenis minuman yang memabukkan hukumnya haram. Maka adakah seorang ahli fiqih yang mengatakan bahwa lafaz ini hanya khusus berkaitan dengan minuman madu? Perihalnya sama saja ketika mereka bertanya kepada Nabi Saw. tentang suatu sembelihan. Beliau menjawab mereka dengan kata-kata yang mengandung makna umum yang membuat si penanya —juga yang lainnya— berpikir mencernanya, mengingat Nabi Saw. telah dianugerahi jawami'ul kalim. Apabila hal ini telah jelas, maka binatang buruan yang ditabrak oleh anjing pemburu atau yang ditindihinya dengan berat badannya hingga mati bukan termasuk hewan yang dialirkan darahnya. Ka­rena itu, hewan buruan tersebut tidak halal. Demikianlah makna yang terkandung di dalam hadis ini. Apabila dikatakan bahwa hadis yang dimaksud sama sekali bu­kan termasuk ke dalam bab ini, karena mereka menanyakan kepada Nabi Saw. tentang alat yang dipakai untuk menyembelih, dan mereka tidak menanyakan tentang sesuatu yang disembelih. Karena itulah di­kecualikan dari alat tersebut gigi dan kuku. Hal ini diungkapkan me­lalui sabdanya "لَيْسَ السِّنُّ وَالظُّفُرُ، وسأحدثكم عن ذلك أما السن فعظم، وأما الظُّفُرُ فَمُدي الْحَبَشَةِ" Tidak boleh memakai gigi dan kuku, aku akan menceritakan ke­pada kalian mengenainya. Adapun gigi berasal dari tulang, dan kuku adalah pisau orang-orang Habsyah. Sedangkan mustasna menunjukkan jenis dari mustasha minhu. Jika ti­dak demikian, berarti tidak muttasil berkaitan. Dengan demikian, maka hal ini menunjukkan bahwa yang ditanyakan adalah alatnya, se­hingga tidak ada dalil bagi apa yang Anda sebutkan. Sebagai jawabannya dapat dikatakan bahwa di dalam alasan yang Anda kemukakan terkandung hal yang sulit Anda cerna, mengingat sabda Nabi Saw. mengatakan "مَا أَنْهَرَ الدَّمَ وَذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ فَكُلُوهُ" Alat apa saja yang dapat mengalirkan darah dan disebutkan as­ma Allah padanya, maka makanlah oleh kalian sembelihan itu. Dalam hadis ini tidak disebutkan, "Maka sembelihlah hewan itu de­ngan alat tersebut." Dengan demikian, berarti dari hadis ini dapat di­simpulkan dua hukum sekaligus, yaitu mengenai hukum alat yang di­pakai untuk menyembelih dan hukum hewan yang disembelih; darah­nya harus dialirkan dengan alat yang bukan berupa gigi, bukan pula kuku. Ini adalah suatu analisis. Analisis yang kedua menurut cara Al-Muzanni, yaitu masalah anak panah dijelaskan padanya, bahwa jika binatang buruan terkena bagian sampingnya kayunya, tidak boleh dimakan; jika tertembus oleh anak panahnya, boleh dimakan. Sedangkan dalam masalah an­jing pemburu disebutkan secara mudak, karena itu masalahnya diin­terpretasikan dengan rincian yang ada pada masalah anak panah, yaitu yang menembus sasarannya. Karena kedua masalah tersebut mempu­nyai persamaan pada subyeknya, yaitu binatang buruan, untuk itulah wajib dalam masalah ini disamakan dengan masalah anak panah, se­kalipun penyebabnya berbeda. Perihalnya sama dengan wajib meng­artikan mutlaknya merdeka dalam masalah zihar terhadap masalah keterikatan merdeka dengan sumpah dalam masalah pembunuhan. Bahkan dalam masalah yang sedang kita bahas ini lebih utama; hal ini akan dimengerti oleh orang yang memahami kaidah asal pokok mengenainya secara apa adanya. Kaidah ini tiada yang memperselisihkannya di antara para ulama yang bersangkutan secara menyelu­ruh. Sudah merupakan suatu keharusan bagi mereka menanggapi ma­salah ini. Seseorang boleh mengatakan bahwa hewan buruan ini dibu­nuh oleh anjing pemburu dengan berat badannya, maka hewan buruan ini tidak halal karena dikiaskan kepada masalah hewan buruan yang terbunuh oleh bagian samping anak panah yakni terpukul olehnya. Kesamaan yang ada dalam kedua masalah ialah masing-masing dari keduanya menggunakan alat berburu, sedangkan binatang buruan ma­ti karena beratnya alat dalam masing-masing kasus. Hal ini tidak ber­tentangan dengan keumuman makna ayat mengenainya, karena kias didahulukan atas keumuman makna, seperti yang dianut oleh mazhab para imam yang empat dan jumhur ulama. Analisis ini dinilai baik pula. Analisis lainnya mengatakan bahwa firman Allah Swt. yang me­ngatakan {فَكُلُوا مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ} Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untuk kalian. Al-Maidah 4 Mengandung makna yang umum mencakup hewan buruan yang mati karena luka atau lainnya. Tetapi hewan yang terbunuh dengan cara tersebut dan masih diperselisihkan kehalalannya, tidak terlepas adaka­lanya mati karena tertanduk atau cara lain yang sama hukumnya, atau tercekik, atau cara lain yang sama hukumnya. Dalam keadaan bagaimanapun wajib memprioritaskan ayat ini atas dalil-dalil lainnya, karena alasan-alasan berikut Pertama, Pentasyri' menetapkan hukum ayat ini dalam kasus perburuan. yaitu ketika beliau mengatakan kepada Addi ibnu Hatim, Dan Jika hewan buruan itu terkena oleh bagian sampingnya, sesungguhnya hewan itu sama dengan mati karena terpukul. Maka janganlah kamu memakannya!" Kami belum pernah mengetahui ada seorang ulama yang memi­sahkan antara suatu hukum dengan hukum ayat ini, lalu ia mengata­kan bahwa sesungguhnya hewan yang mati terpukul dapat dimakan bila merupakan hasil dari perburuan, sedangkan kalau yang tertanduk tidak dapat dimakan. Dengan demikian, berarti pendapat memboleh­kan hal yang diperselisihkan kehalalannya melanggar kesepakatan ijma', bukan sebagai orang yang mendukung ijma', dan hal ini dila­rang menurut kebanyakan ulama. Kedua, bahwa firman-Nya yang mengatakan {فَكُلُوا مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ} Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untuk kalian. Al-Maidah 4 Tidak mengandung makna yang umum secara ijma', melainkan di­khususkan bagi hewan buruan yang dapat dimakan dagingnya. Dike­cualikan dari keumuman makna lafaznya hewan yang tidak boleh di­makan, menurut kesepakatan ulama. Sedangkan pengertian umum yang telah dikenal harus lebih didahulukan daripada yang tidak di­kenal. Analisis lain mengatakan bahwa binatang buruan seperti itu sama hukumnya dengan bangkai, karena darahnya tertahan, begitu pula cairan lainnya yang mengikutinya; maka hukumnya tidak halal karena dikiaskan kepada bangkai. Analisis lainnya mengatakan bahwa ayat tahrim yang mengata­kan {حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ} Diharamkan bagi kalian bangkai. Al-Maidah 3, hingga akhir ayat bersifat muhkam, tidak ada nasakh, dan tidak ada takhsis yang mema­sukinya. Demikian juga selayaknya ayat tahlil bersifat muhkam pula. Yang dimaksud dengan ayat tahlil ialah firman Allah Swt. يَسْأَلُونَكَ مَاذَا أُحِلَّ لَهُمْ قُلْ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ Mereka menanyakan kepadamu, "Apakah yang dihalalkan bagi mereka?" Katakanlah, "Dihalalkan bagi kalian yang baik-baik." Al-Maidah 4, hingga akhir ayat. Sudah selayaknya tidak boleh ada pertentangan di antara keduanya secara mendasar, dan datanglah peran sunnah yang menjelaskan hal tersebut. Sebagai buktinya ialah disebutkan dalam kisah berburu memakai anak panah hukum yang termasuk ke dalam makna ayat ini, yaitu bila hewan buruan tersebut tertembus oleh anak panah, maka hukumnya halal karena termasuk ke dalam pengertian tayyibat yang baik-baik. Sedangkan dalam waktu yang sama ada pula pada hadis ini pengerti­an yang termasuk ke dalam hukum ayat tahrim. Yaitu bilamana he­wan buruan mati terkena bagian sampingnya, maka ia tidak boleh dimakan, karena sama saja dengan mati terpukul. Dengan demikian, masalahnya termasuk ke dalam salah satu dari rincian makna ayat tahrim. Demikian pula sudah seharusnya disamakan hukum hewan buru­an yang dilukai oleh anjing pemburu, maka hewan buruan tersebut termasuk ke dalam hukum ayat tahlil. Jika tidak dilukai, melainkan ditabrak —atau binatang buruan mati karena tertanduk— atau hal lainnya yang sama hukumnya, maka hewan buruan tersebut tidak halal. Jika ditanyakan, "Mengapa tidak ada rincian dalam hukum ber­buru memakai anjing pemburu? Tetapi menurut kalian, bila hewan buruan dilukai, hukumnya halal; dan bila tidak dilukai, hukumnya haram?" Sebagai jawabannya dapat dikatakan bahwa hal tersebut jarang, mengingat anjing pemburu selalu membunuh hewan buruannya de­ngan kuku atau dengan taring atau dengan keduanya. Sedangkan de­raan cara menabrak hewan buruannya, hal ini jarang sekali terjadi. Jarang pula terjadi anjing pemburu membunuh hewan buruannya dengan menindihnya. Karena itu, tidak diperlukan adanya pengecualian hal seperti itu, mengingat kejadiannya sangat langka. Atau memang masalahnya sudah jelas hukumnya bagi orang yang mengetahui ha­ramnya bangkai, hewan yang mati tercekik, hewan yang mati terpu­kul, hewan yang mati jatuh dari ketinggian, dan hewan yang mati ka­rena tertanduk. Mengenai masalah berburu memakai anak panah tombak, ada­kalanya si pelempar pemburu melenceng bidikannya karena kurang pandai atau sengaja bermain-main atau karena lain-lainnya, bahkan kelirunya lebih banyak daripada mengenai buruannya. Karena itulah masing-masing hukumnya disebutkan secara rinci. Karena itulah anjing pemburu itu adakalanya memakan sebagian binatang buruannya. Maka disebutkan hukumnya secara rinci, yaitu apabila anjing pemburu memakan sebagian dari binatang buruannya. Untuk itu Nabi Saw. bersabda "إِنْ أَكَلَ فَلَا تَأْكُلْ، فَإِنِّي أَخَافُ أَنْ يَكُونَ أَمْسَكَ عَلَى نَفْسِهِ" Jika anjing itu memakannya, maka janganlah kamu makan, kare­na sesungguhnya aku merasa khawatir bila anjing itu menang­kap buruan untuk dirinya sendiri bukan untuk tuan yang mele­paskannya. Hadis ini sahih dan terdapat di dalam kitab Sahihain. Hukum yang di­sebutkan dalam hadis ini pun merupakan takhsis dari keumuman makna ayat tahlil menurut kebanyakan ulama. Mereka mengatakan, tidak halal hasil buruan yang anjing pemburunya memakannya. De­mikian riwayat yang bersumber dari Abu Hurairah dan Ibnu Abbas. Hal yang sama dikatakan oleh Al-Hasan, Asy-Sya'bi, dan An-Nakha'i. Pendapat ini pulalah yang dipegang oleh Imam Abu Hanifah dan kedua temannya, juga Imam Ahmad ibnu Hambal dan Imam Syafii menurut pendapat yang terkenal darinya. Ibnu Jarir meriwayatkan di dalam kitab tafsirnya, dari Ali, Sa'id, Salman, dan Abu Hurairah, Ibnu Umar serta Ibnu Abbas radhiyallahu anhum, bahwa binatang buruan boleh dimakan sekalipun anjing pem­burunya memakan sebagian darinya. Hingga Sa'id, Salman, dan Abu Hurairah serta lain-lainnya mengatakan bahwa hewan buruan masih boleh dimakan sekalipun tiada yang tersisa kecuali hanya sepotong daging saja. Pendapat ini dipegang oleh Imam Malik, dan Imam Syafii dalam qaul qadim-nya mengatakan masalah ini. Tetapi dalam qaul jadid-nya. hanya mengisyaratkan kepada dua pendapat Demikian itu kata Imam Abu Nasr ibnu Sabbag dan lain-lainnya dari kalangan teman-teman­nya. Imam Abu Daud telah meriwayatkan dalam pendapatnya yang didasari dengan hadis yang bersanadkan jayyid lagi kuat dari Abu Sa'labah Al-Khusyani, dari Rasulullah Saw. Disebutkan bahwa Ra­sulullah Saw. pernah bersabda mengenai anjing pemburu "إِذَا أَرْسَلْتَ كَلْبَكَ وَذَكَرْتَ اسْمَ اللَّهِ فَكُلْ وَإِنْ أَكَلَ مِنْهُ، وَكُلْ مَا رَدَّتْ عَلَيْكَ يَدُكَ" Apabila kamu melepaskan anjing pemburumu dan kamu menye­butkan nama Allah, maka makanlah hasil buruannya, sekalipun anjingmu memakan sebagian darinya, dan makan pulalah apa yang kamu tarik dengan tanganmu. Imam Nasai meriwayatkannya pula melalui hadis Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa seorang Arab Badui yang dikenal dengan nama Abu Sa'labah bertanya.”Wahai Rasulullah," lalu ia me­nyebutkan hadis yang semisal. قَالَ مُحَمَّدُ بْنُ جَرِيرٍ فِي تَفْسِيرِهِ حَدَّثَنَا عِمْرَانُ بْنُ بَكَّار الكَلاعِيّ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُوسَى-هُوَ اللَّاحُونِيُّ-حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ دِينَارٍ -هُوَ الطَّاحِيُّ-عَنْ أَبِي إِيَاسٍ -وَهُوَ مُعَاوِيَةُ بْنُ قُرَّةَ-عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ، عَنْ سَلْمَانَ الْفَارِسِيِّ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ "إِذَا أَرْسَلَ الرَّجُلُ كَلْبَهُ عَلَى الصَّيْدِ فَأَدْرَكَهُ وَقَدْ أَكَلَ مِنْهُ، فَلْيَأْكُلْ مَا بَقِيَ. Muhammad ibnu Jarir mengatakan di dalam kitab tafsirnya, telah menceritakan kepada kami Imran ibnu Bakkar Al-Kala'i, telah men­ceritakan kepada kami Abdul Aziz ibnu Musa yaitu Al-Lahuni, te­lah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Dinar yakni At-Tahii. dari Abu Iyas yaitu Mu'awiyah ibnu Qurrah, dari Sa'id ibnul Musayyab, dari Salman Al-Farisi, dari Rasulullah Saw. yang telah bersabda Bilamana seorang lelaki melepaskan anjing pemburunya terha­dap hewan buruan, lalu anjing dapat menangkapnya dan mema­kan sebagian dari hewan buruannya, maka hendaklah ia mema­kan sisanya. Kemudian Ibnu Jarir menganalisis hadis ini, bahwa hadis ini telah di­riwayatkan oleh Qatadah dan lain-lainnya, dari Sa'id ibnul Musayyab, dari Salman secara mauquf. Adapun pendapat jumhur ulama, mereka mendahulukan hadis Addi atas hadis ini, dan mereka menganggap daif hadis Abu Sa'labah dan lain-lainnya. Tetapi sebagian ulama ada yang mengulasnya, jika anjing pem­buru memakan hewan buruannya sesudah lama menunggu tuannya dan ternyata masih belum datang juga, lalu ia memakannya karena la­par dan faktor lainnya, maka hewan buruan tersebut hukumnya tidak mengapa halal; demikianlah rinciannya secara panjang lebar. Kare­na dalam keadaan seperti itu tidak dikhawatirkan bahwa anjing terse­but menangkap hewan buruannya hanya untuk dirinya sendiri. Lain halnya jika anjing pemburu memakannya begitu dia menangkap he­wan buruannya; dalam keadaan seperti ini tampak jelas bahwa dia menangkap hewan buruan itu untuk dirinya sendiri. Mengenai burung-burung pemangsa —menurut nas Imam Syafii— sama hukumnya dengan anjing pemburu. Dengan kata lain. haram hukumnya bila ia memakannya, menurut jumhur ulama; dan tidak haram, menurut ulama lainnya. Al-Muzanni dari kalangan teman kami memilih pendapat yang mengatakan tidak haram memakan hasil buruan burung pemangsa yang telah dimakan sebagiannya oleh burung yang memangsanya dan hewan pemburu lainnya. Pendapat ini dikatakan oleh mazhab Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad. Mereka mengatakan bahwa dikata­kan demikian karena tidak mungkin mengajari burung pemangsa seperti mengajari anjing pemburu, misalnya memakai sarana pemukul dan sarana lainnya yang digunakan untuk mengajari anjing. Lagi pula burung pemangsa yang dijadikan hewan pemburu tidak mengetahui melainkan dia memakan sebagian dari binatang buruannya, karena itu keadaannya dimaafkan. Nas yang ada hanyalah menyebutkan rincian tentang anjing pemburu, bukan burung pemburu. Syekh Abu Ali mengatakan di dalam kitab Ifsah-nya, jika kita katakan haram memakan hewan buruan yang telah dimakan oleh an­jing pemburu sebagiannya, maka dalam masalah hewan buruan yang dimakan oleh burung pemburu ada dua pendapat. Tetapi Abut Tayyib Al-Qadi menolak adanya rincian dan urutan ini pada nas Imam Syafii yang menunjukkan adanya persamaan di antara keduanya. ***** Yang dimaksud dengan {الْمُتَرَدِّيَةُ}mutaraddiyah ialah hewan yang jatuh dari ketinggian atau tempat yang tinggi, lalu mati, hukumnya tidak halal. Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa mutaraddiyah ialah hewan yang jatuh dari atas bukit. Qatadah mengatakan bahwa mutaraddiyah ialah hewan yang jatuh ke dalam sumur. As-Saddi mengatakan bahwa mutaraddiyah ialah hewan yang ja­tuh dari bukit atau terperosok ke dalam sumur yang dalam, lalu mati. {النَّطِيحَةُ} Natihah artinya hewan yang mati karena ditanduk oleh hewan lainnya, maka hewan ini haram hukumnya, sekalipun terluka oleh tanduk dan darahnya keluar, sekalipun dari bagian penyembelihannya. Natihah ber-wazan fa'ilah. sedangkan maknanya maf'ulah,yakni مَنْطُوحَةٍhewan yang ditanduk. Bentuk lafaz ini kebanyakan di ka­langan orang-orang Arab dalam pemakaiannya tidak memakai huruf ta ta-nis. mereka mengucapkannya 'ainun kahllun mata yang bercelak, kaffun khadibun tangan yang memakai pacar. Mereka tidak mengucapkannya kaffun khadibah, tidak pula 'ainun kahilah. Dalam lafaz ini sebagian kalangan ahli Nahwu mengatakan bahwa sesung­guhnya pemakaian ta ta-nis dalam lafaz ini tiada lain karena dikategorikan ke dalam isim, sama halnya dengan perkataan mereka tariqa-tun tawilah jalan yang panjang. Sebagian lain dari kalangan ahli Nahwu mengatakan bahwa se­sungguhnya pemakaian ta ta-nis dalam lafaz ini hanyalah untuk me­nunjukkan arti ta-nis sejak pemakaian semula, lain halnya dengan lafaz 'ainun kahilun dan kaffun khadibun, karena ta ta-nis telah dime­ngerti dari permulaan pembicaraan. **** Firman Allah Swt. {وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ} dan yang diterkam binatang buas. Al-Maidah 3 Artinya, hewan yang diterkam oleh singa atau harimau atau macan tutul atau oleh serigala atau oleh anjing liar, lalu dimakan sebagiannya dan mati, maka hewan tersebut haram hukumnya, sekalipun telah mengalir darahnya; dan yang dilukai pada bagian penyembelihannya, hukumnya tetap tidak halal menurut kesepakatan. Dahulu orang-orang Jahiliah memakan lebihan dari apa yang dimangsa oleh binatang pemangsa, baik yang dimangsa itu kambing, atau unta atau sapi atau ternak lainnya. Kemudian Allah Swt. meng­haramkan hal itu bagi kaum mukmin. Firman Allah Swt. {إِلا مَا ذَكَّيْتُمْ} kecuali yang sempat kalian menyembelihnya, f Al-Maidah 3 Istisna dalam lafaz ayat ini kembali kepada apa yang mungkin pe­ngembaliannya dari hal-hal yang telah ditetapkan menjadi penyebab kematiannya, lalu sempat ditanggulangi dengan menyembelihnya, se­dangkan hewan yang dimaksud masih dalam keadaan hidup yang sta­bil. Tempat kembali dari istisna ini tiada lain hanyalah pada firman-Nya {وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ} hewan yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk dan yang diterkam binatang buas. Al-Maidah 3 Ali ibnu AbuTalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya Kecuali yang sempat kalian menyembelihnya. Al-Maidah 3; Yakni kecuali hewan-hewan tersebut yang kalian sempat menyem­belihnya, sedangkan pada tubuhnya masih terdapat rohnya. Maka ma­kanlah oleh kalian, karena hewan tersebut sama hukumnya dengan yang disembelih. Hal yang sama diriwayatkan dari Sa'id ibnu Jubair, Al-Hasan Al-Basri, dan As-Saddi. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Hafs ibnu Gayyas, telah menceritakan kepada kami Ja'far ibnu Muhammad, dari ayahnya, dari Ali sehubungan dengan ayat ini, bahwa jika hewan yang dimaksud masih menggerak-gerakkan telinganya, atau menendang-nendang dengan kakinya atau matanya masih melirik-lirik saat kalian menyembelihnya, maka makanlah hewan itu. Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Qasim, telah menceritakan kepada kami Al-Husain, telah mencerita­kan kepada kami Hasyim dan Abbad; keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hajjaj, dari Husain, dari Asy-Sya'bi, dari Al-Haris, dari Ali yang mengatakan, "Jika hewan yang dipukul, yang jatuh, dan yang ditanduk masih sempat disembelih dalam keada­an masih sempat menggerak-gerakkan kaki depan atau kaki belakang­nya, maka makanlah hewan tersebut." Hal yang sama diriwayatkan dari Tawus, Al-Hasan, Qatadah, Ubaid ibnu Umair, dan Ad-Dahhak serta lain-lainnya yang bukan ha­nya seorang, bahwa hewan yang disembelih itu manakala masih dapat melakukan gerakan yang menunjukkan ia masih hidup sesudah di­sembelih, maka hewan itu halal hukumnya. Demikianlah menurut mazhab jumhur ulama fiqih; dan hal yang sama dikatakan oleh Imam Abu Hanifah, Imam Syafii, dan Imam Ahmad ibnu Hambal. Ibnu Wahb mengatakan bahwa Imam Malik pernah ditanya ten­tang kambing yang dirobek tubuhnya oleh binatang pemangsa hingga ususnya keluar. Imam Malik menjawab, "Menurut pendapatku, kam­bing tersebut tidak boleh disembelih, apakah manfaat penyembelihan dari kambing yang keadaannya sudah demikian?" Asyhab mengatakan bahwa Imam Malik pernah ditanya menge­nai masalah dubuk yang menerkam domba dan mematahkan pung­gungnya, "Apakah domba itu boleh disembelih sebelum ia mati, lalu dimakan?" Imam Malik menjawab, "Jika yang digigitnya sampai ke tengkuknya. tidak boleh dimakan. Tetapi jika yang digigitnya itu adalah bagian lain dari anggota tubuhnya, tidak mengapa disembelih,lalu dimakan." Ketika ditanyakan lagi kepadanya, "Dubuk itu menerkamnya dan mematahkan punggungnya?" Imam Malik menjawab, "Tidak aneh bagiku, kambing itu pasti tidak dapat hidup lagi karenanya." Ketika ditanyakan lagi mengenai masalah serigala yang menerkam kambing dan merobek perut tanpa mengeluarkan isinya, maka Imam Malik menjawab, "Bila serigala telah merobek perutnya, maka menurut pendapatku kambing itu tidak boleh dimakan lagi." Demikianlah menurut mazhab Imam Malik, tetapi makna lahiriah ayat bersifat umum, tidak seperti apa yang dikecualikan oleh Imam Malik dalam gambaran-gambaran yang dialami oleh hewan-hewan tersebut sampai pada tahapan tidak dapat hidup lagi sesudahnya. Maka untuk menetapkannya diperlukan adanya dalil yang mentakhsis ayat. Di dalam kitab Sahihain dari Rafi' ibnu Khadij disebutkan bahwa ia pernah bertanya kepada Rasulullah Saw., "Wahai Rasulullah, besok kami akan berhadapan dengan musuh, sedangkan kami tidak mempu­nyai pisau penyembelih, bolehkah kami menyembelih memakai welat?" Rasulullah Saw. menjawab melalui sabdanya "مَا أَنْهَرَ الدَّمَ وَذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ فَكُلُوهُ، لَيْسَ السنُّ والظَّفُر، وَسَأُحَدِّثُكُمْ عَنْ ذَلِكَ، أما السن فعظم، وأما الظفر فمدى الحبشة" Alat apa saja yang dapai mengalirkan darah dan disebutkan as­ma Allah padanya, maka makanlah sembelihannya, selagi bukan berupa gigi dan kuku. Aku akan menceritakan kepada kalian ten­tang hal tersebut. Adapun gigi berasal dari tulang, dan kuku adalah pisau orang-orang Habsyah. Di dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Daruqutni secara marfu' ada hal yang perlu dipertimbangkan di dalamnya. Telah diriwayat­kan dari Umar secara mauquf, hal ini lebih sahih. Disebutkan, "أَلَا إِنَّ الذَّكَاةَ فِي الْحَلْقِ وَاللَّبَّةِ، وَلَا تُعَجِّلُوا الْأَنْفُسَ أَنْ تَزْهَقَ". "Ingat­lah, menyembelih itu pada tenggorokan dan lubbah urat leher, dan janganlah kalian tergesa-gesa agar rohnya cepat dicabut." Di dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan ahlus sunan melalui riwayat Hammad ibnu Salamah, dari Abul Asyra Ad-Darimi, dari ayahnya, disebutkan bahwa ia pernah bertanya kepada Rasulullah Saw.,"Wahai Rasulullah, bukankah menyembelih itu lub­bah dan tenggorokan?" Rasulullah Saw. menjawab "لَوْ طُعِنَتْ فِي فَخْذِهَا لَأَجْزَأَ عَنْكَ. Seandainya kamu tusuk pada pahanya, niscaya sudah cukup bagimu. Hadis ini sahih, tetapi pengertiannya ditujukan terhadap hewan yang tidak dapat disembelih pada tenggorokan dan lubbah urat lehernya. **** Firman Allah Swt. {وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ} dan yang disembelih untuk berhala. Al-Maidah 3 Mujahid dan Ibnu Juraij mengatakan bahwa berhala terbuat dari batu di zaman dahulu banyak didapat di sekitar Ka'bah. Ibnu Juraij mengatakan bahwa jumlah berhala yang ada di sekeli­ling Ka'bah kurang lebih tiga ratus enam puluh buah. Dahulu di masa Jahiliah orang-orang Arab menyembelih hewan kurbannya di dekat berhala-berhala itu, lalu mereka melumuri bagian depan berhala-ber­hala itu —yang menghadap ke arah Ka'bah— dengan darah sembe­lihan mereka; dan mereka mengiris tipis dagingnya, lalu mereka letakkan pada berhala-berhala itu. Demikian pula hal yang diriwayatkan oleh lainnya yang bukan hanya seorang. Kemudian Allah melarang orang-orang mukmin melakukan perbuatan itu; juga mengharamkan bagi mereka memakan sembelihan yang dilakukan di dekat berhala-berhala itu, sekalipun ketika menyembelihnya dibacakan asma Allah. Mengingat adanya bekas kemusyrikan yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya, sudah selayaknya masalah ini disamakan dengan masalah di atas, karena sebelumnya telah dikatakan haram memakan sembelihan yang disembelih untuk selain Allah. ***** Firman Allah Swt. {وَأَنْ تَسْتَقْسِمُوا بِالأزْلامِ} Dan diharamkan juga mengundi nasib dengan anak panah. Al-Maidah 3 Diharamkan bagi kalian, hai orang-orang mukmin, mengundi nasib dengan anak panah. Bentuk tunggal dari azlam ialah zulam, tetapi adakalanya dibaca zalam. Dahulu di masa Jahiliah orang-orang Arab sering melakukannya. Azlam merupakan tiga buah anak panah, pada salah satunya bertuliskan kata 'lakukanlah', pada yang kedua bertuliskan 'jangan kamu lakukan', sedangkan pada yang ketiganya tidak terdapat tulisan apa pun. Menurut sebagian orang, pada yang pertama bertuliskan 'Tuhanku memerintahkan kepadaku', pada yang kedua ber­tuliskan 'Tuhanku melarangku', dan pada yang ketiganya kosong, ti­dak ada tulisan. Jika telah dikocok, lalu keluarlah panah yang bertuliskan kata perintah, maka orang yang bersangkutan mengerjakannya; atau jika yang keluar kata larangan, maka ia meninggalkannya. Jika yang ke­luar adalah anak panah yang kosong, maka ia mengulanginya lagi. Istilah istiqsam diambil dari makna meminta bagian dari anak-anak panah tersebut yang dipakai untuk mengundi. Demikianlah me­nurut keterangan yang dikemukakan oleh Abu Ja'far ibnu Jarir. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Muhammad As-Sabbah, telah menceritakan kepada kami Al-Hajjaj ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij dan Usman ibnu Ata, dari Ata, dari Ibnu Abbas mengenai firman-Nya Dan diharamkan juga mengundi nasib dengan anak panah. Al-Maidah 3; Azlam adalah anak panah yang belum diberi bulu kestabilan dan besi runcing pada ujungnya. Dahulu mereka menggunakan alat ini untuk mengundi nasib dalam semua perkara. Hal yang sama diriwayatkan dari Mujahid, Ibrahim An-Nakha’i, Al-Hasan Al-Basri, dan Muqatil ibnu Hayyan. Ibnu Abbas mengatakan, azlam adalah anak panah yang dahulu mereka gunakan untuk mengundi nasib dalam semua urusan. Muhammad ibnu Ishaq dan lain-lainnya menyebutkan bahwa ber­hala orang Quraisy yang paling besar diberi nama Hubal. Berhala ini dipancangkan di atas sebuah sumur yang terdapat di dalam Ka'bah, di dalamnya diletakkan semua hadiah dan harta Ka'bah. Di dekat berha­la tersebut terdapat tujuh buah anak panah yang pada masing-masing­nya tertera apa yang biasa mereka gunakan untuk memutuskan perkara-perkara yang sulit bagi mereka. Maka anak panah mana saja yang keluar, hal itu dijadikan pegangan oleh mereka dan tidak dapat diganggu gugat lagi. Di dalam kitab Sahihain disebutkan bahwa ketika Nabi Saw. me­masuki Ka'bah, beliau menemukan gambar Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail di dalamnya, pada tangan kedua nabi itu terdapat azlam. Maka Nabi Saw. bersabda "قَاتَلَهُمُ اللَّهُ، لَقَدْ عَلِمُوا أَنَّهُمَا لَمْ يَسْتَقْسِمَا بِهَا أَبَدًا." Semoga Allah melaknat mereka ahli Jahiliah, sesungguhnya mereka mengetahui bahwa keduanya sama sekali tidak pernah menggunakannya. Di dalam kitab Sahihain disebutkan bahwa Suraqah ibnu Malik ibnu Ju'syum ketika berangkat mengejar Nabi Saw. dan Abu Bakar yang sedang menuju Madinah melakukan hijrahnya, terlebih dahulu meng­undi nasib dengan azlam, apakah dia dapat menimpakan mudarat ke­pada mereka atau tidak. Ternyata yang keluar adalah yang tidak disu­kainya, yaitu yang mengatakan, "Kamu tidak dapat menimpakan mu­darat terhadap mereka." Suraqah mengatakan, "Lalu aku tidak meng­hiraukan apa yang dihasilkan oleh azlam itu, dan langsung aku me­ngejar mereka." Kemudian ia melakukannya lagi untuk yang kedua dan yang ketiga kalinya. Tetapi setiap ia melakukan undian, ternyata yang keluar adalah yang tidak disukainya, yaitu "kamu tidak dapat membahayakan mereka." Memang demikianlah kejadiannya. Saat itu Suraqah masih belum masuk Islam, ia baru masuk Islam sesudah peristiwa tersebut. وَرَوَى ابْنُ مَرْدُويه مِنْ طَرِيقِ إِبْرَاهِيمَ بْنِ يَزِيدَ، عَنْ رَقَبةَ، عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ عُمَيْر، عَنْ رَجاء بْنِ حَيْوَة، عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ "لَنْ يَلِج الدَّرَجَاتِ مَنْ تَكَهَّن أَوِ اسْتَقْسَمَ أَوْ رَجَعَ مِنْ سَفَرٍ طَائِرًا". Ibnu Murdawaih meriwayatkan melalui jalur Ibrahim ibnu Yazid, dari Ruqabah, dari Abdul Malik ibnu Umair, dari Raja ibnu Haiwah, dari Abu Darda yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. telah ber­sabda Tidak akan masuk surga orang yang melakukan tenung atau mengundi nasib atau kembali dari bepergian karena tatayyur. Mujahid mengatakan sehubungan dengan Firman-Nya Dan diharamkan juga mengundi nasib dengan anak panah. Al-Maidah 3; Azlam ialah anak panah orang-orang Arab, dan dadu orang-orang Persia serta orang-orang Romawi yang biasa mereka pakai untuk ber­judi. Pendapat yang disebutkan oleh Mujahid ini sehubungan dengan pengertian azlam —yaitu alat yang dipakai untuk berjudi— masih perlu dipertimbangkan. Kecuali jika ia mengatakan bahwa dahulu orang-orang Arab adakalanya memakai azlam untuk beristikharah dan adakalanya untuk berjudi, karena sesungguhnya Allah Swt. menggan­dengkan antara azlam dan qumar judi, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأنْصَابُ وَالأزْلامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ. إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya meminum khamr, berjudi, berkorban untuk berhala, mengundi nasib de­ngan panah, adalah perbuatan keji, termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kalian mendapat keberuntungan. Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak me­nimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kalian. Al-Maidah 90-91 sampai dengan firman-Nya فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ maka berhentilah kalian dari mengerjakan perbuatan itu. Al-Maidah 91 Dalam ayat ini disebutkan oleh firman-Nya dengan makna yang sa­ma, yaitu {وَأَنْ تَسْتَقْسِمُوا بِالأزْلامِ ذَلِكُمْ فِسْقٌ} Dan diharamkan juga mengundi nasib dengan anak panah, mengundi nasib dengan anak panah itu adalah kefasikan. Al-Maidah 3 Yaitu melakukan perbuatan tersebut akan mengakibatkan kefasikan, kesesatan, kebodohan, dan kemusyrikan. Allah Swt. telah memerin­tahkan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman, apabila mereka me­rasa ragu dalam urusan mereka, hendaknya mereka melakukan isti­kharah kepada-Nya, yaitu dengan menyembah-Nya, kemudian memo­hon petunjuk dari-Nya tentang perkara yang hendak mereka lakukan. Imam Ahmad, Imam Bukhari, dan Ahlus Sunan meriwayatkan melalui jalur Abdur Rahman ibnu Abul Mawali, dari Muhammad ibnul Munkadir, dari Jabir ibnu Abdullah yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah mengajarkan kepada kami beristikharah da­lam semua urusan, sebagaimana beliau mengajarkan Al-Qur'an kepa­da kami. Untuk itu beliau Saw. bersabda "إِذَا هَمَّ أحدُكُم بالأمْرِ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ مِنْ غَيْرِ الْفَرِيضَةِ، ثُمَّ لِيَقُلِ اللَّهُمَّ إِنِّي أسْتَخِيركَ بعلمكَ، وأسْتَقْدِرُك بقدرتكَ، وأسألُكَ مِنْ فَضْلك الْعَظِيمِ؛ فَإِنَّكَ تَقْدِر وَلَا أقْدِر، وتَعْلَمُ وَلَا أَعْلَم، وَأَنْتَ عَلام الْغُيُوبِ، اللَّهُمَّ إِنَّ كنتَ تَعْلَمُ هَذَا الْأَمْرَ -وَيُسَمِّيهِ بِاسْمِهِ-خَيْرًا لِي فِي دِينِي ومَعاشي وعاقِبة أَمْرِي، فاقدُرْهُ لِي ويَسِّره لِي وَبَارِكْ لِي فِيهِ، اللَّهُمَّ إِنْ كنتَ تَعْلَمْهُ شَرًّا لِي فِي دِينِي ومَعاشي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي، فاصْرِفْنِي عَنْهُ، وَاصْرِفْهُ عنِّي، واقْدُرْ لِي الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ، ثُمَّ رَضِّني بِهِ". Apabila seseorang di antara kalian berniat akan melakukan su­atu urusan, hendaklah ia salat dua rakaat bukan salat fardu. Ke­mudian hendaklah ia mengucapkan dalam doanya, "Ya Allah, sesungguhnya aku beristikharah kepada-Mu dengan ilmu-Mu dan memohon kemampuan dengan kekuasaan-Mu, memohon karunia-Mu yang besar. Karena sesungguhnya Engkau Kuasa, se­dangkan aku tidak kuasa; dan Engkau mengetahui, sedangkan aku tidak mengetahui. Engkau Maha Mengetahui semua yang gaib. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa urusan ini dise­butkan nama urusannya baik bagiku dalam agamaku, duniaku, kehidupanku, dan akibat perkaraku. Atau beliau Saw. mengata­kan, 'Dalam urusan dunia dan akhiratku,' maka takdirkanlah urusan ini untukku dan mudahkanlah bagiku dalam melakukan­nya, kemudian berilah berkah bagiku di dalamnya. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa urusan ini buruk bagiku dalam aga­maku, duniaku, penghidupanku, dan akibat perkaraku, maka pa-lingkanlah aku darinya dan palingkanlah urusan ini dariku, dan takdirkanlah yang baik bagiku menurut seadanya, kemudian ridailah aku dengannya." Demikianlah menurut lafaz Imam Ahmad. Imam Turmuzi mengata­kan bahwa hadis ini hasan sahih garib, kami tidak mengetahuinya ke­cuali melalui hadis Ibnu Abul Mawali. **** Firman Allah Swt. {الْيَوْمَ يَئِسَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ دِينِكُمْ} Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk menga­lahkan agama kalian. Al-Maidah 3 Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa mereka putus asa dan tidak punya harapan lagi untuk mengembalikan agama mereka. Hal yang sama diriwayatkan dari Ata ibnu Abu Rabah, As-Saddi, dan Muqatil ibnu Hayyan. Berdasarkan makna ini disebutkan sebuah hadis dalam kitab sahih yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda "إِنَّ الشَّيْطَانَ قَدْ يَئِسَ أَنْ يَعْبُدَهُ المُصَلُّون فِي جَزِيرَةِ الْعَرَبِ، وَلَكِنْ بالتَّحْرِيش بَيْنَهُمْ" Sesungguhnya setan telah putus asa untuk disembah kembali di Jazirah Arabia, tetapi masih bisa mengadu domba di antara me­reka. Makna ayat dapat ditafsirkan dengan makna lain, yaitu bahwa mereka telah putus asa untuk dapat menyerupai kaum muslim, mengingat kaum muslim mempunyai ciri khas yang berbeda dengan mereka, an­tara lain ialah sifat-sifat yang jauh bertentangan dengan kemusyrikan dan para penganutnya. Allah Swt. memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya yang mukmin untuk tetap bersabar dan teguh dalam per­bedaan dengan orang-orang kafir, dan janganlah orang-orang mukmin merasa takut kepada siapa pun kecuali kepada Allah Swt. Untuk itu Allah Swt. berfirman {فَلا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ} sebab itu janganlah kalian takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Al-Maidah 3 Artinya, janganlah kalian takut dalam bersikap berbeda dengan me­reka, tetapi takutlah kalian kepada-Ku, niscaya Aku akan menolong kalian atas mereka, dan Aku akan mendukung kalian serta me­menangkan kalian atas mereka. Aku akan melegakan hati kalian ter­hadap mereka dan menjadikan kalian berada di atas mereka di dunia dan akhirat. ***** Firman Allah Swt. {الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا} Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Kucukupkan kepada kalian nikmat-Ku. dan telah Ku­ridai Islam itu jadi agama bagi kalian. Al-Maidah; 3 Ini merupakan nikmat Allah yang paling besar kepada umat ini, kare­na Allah telah menyempurnakan bagi mereka agama mereka; mereka tidak memerlukan lagi agama yang lain, tidak pula memerlukan nabi lain selain nabi mereka; semoga salawat dan salam terlimpahkan ke­padanya. Karena itulah Allah menjadikan beliau Saw. sebagai nabi terakhir yang diutus-Nya untuk manusia dan jin. Tiada halal selain apa yang dihalalkannya, tiada haram kecuali apa yang diharamkannya dan tiada agama kecuali apa yang disyarjatkannya. Semua yang ia beritakan adalah benar belaka, tiada dusta dan tiada kebohongan padanya. Seperti yang disebut dalam firman Allah Swt., yaitu {وَتَمَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ صِدْقًا وَعَدْلا} Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu Al-Qur'an, sebagai kali­mat yang benar dan adil. Al-An'am 115 Yakni benar dalam beritanya, serta adil dalam perintah dan larangan­nya. Setelah Allah menyempurnakan bagi mereka agama mereka, ber­arti telah cukuplah kenikmatan yang mereka terima dari-Nya. Untuk itulah disebutkan di dalam firman-Nya {الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا} Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Kucukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Ku­ridai Islam jadi agama bagi kalian, Al-Maidah 3 Artinya, terimalah oleh kalian dengan rela Islam sebagai agama kali­an, karena sesungguhnya Islam adalah agama yang disukai dan diridai Allah, dan Dia telah mengutus rasul yang paling utama dan terhor­mat sebagai pembawanya, dan menurunkan Kitab-Nya yang paling mulia dengan melaluinya. Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian. Al-Maidah 3; Yakni agama Islam. Allah Swt. memberitahukan kepada Nabi-Nya dan orang-orang mukmin bahwa Dia telah menyempurnakan Islam untuk mereka, karena itu Islam tidak memerlukan tambahan lagi se­lamanya. Allah telah mencukupkannya dan tidak akan menguranginya untuk selamanya. Dia telah rida kepadanya, maka Dia tidak akan membencinya selama-lamanya. Asbat meriwayatkan dari As-Saddi, bahwa ayat ini diturunkan pada hari Arafah, sesudah itu tidak lagi diturunkan wahyu mengenai halal dan haram, dan Rasulullah Saw. kembali ke Madinah, lalu be­liau wafat. Asma binti Umais menceritakan, "Aku ikut haji bersama Rasu­lullah Saw. dalam haji tersebut haji wada'. Ketika kami sedang ber­jalan, tiba-tiba Malaikat Jibril datang kepadanya membawa wahyu. Maka Rasulullah Saw. membungkuk di atas unta kendaraannya, dan unta kendaraannya hampir tidak kuat menopang diri Rasulullah Saw. karena beratnya wahyu yang sedang turun. Lalu unta kendaraannya duduk mendekam, dan aku datang mendekati Nabi Saw., kemudian aku selimuti tubuhnya dengan jubah burdahku." Ibnu Jarir dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. wafat sesudah hari Arafah selang delapan puluh satu hari kemudian. Hadis ini dan hadis sebelumnya diriwayat­kan oleh Ibnu Jarir. Kemudian Ibnu Jarir mengatakan حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ وَكِيع، حَدَّثَنَا ابْنُ فُضَيْل، عَنْ هَارُونَ بْنِ عَنْتَرَةَ، عَنْ أَبِيهِ قَالَ لَمَّا نَزَلَتْ {الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ} وَذَلِكَ يَوْمَ الْحَجِّ الْأَكْبَرِ، بَكَى عُمَرُ، فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ "مَا يُبْكِيكَ؟ " قَالَ أَبْكَانِي أَنَّا كُنَّا فِي زِيَادَةٍ مِنْ دِينِنَا، فَأَمَا إذْ أُكْمِلَ فَإِنَّهُ لَمْ يَكْمُلْ شَيْءٌ إِلَّا نَقُصَ. فَقَالَ "صَدَقْتَ". telah mence­ritakan kepada kami Sufyan ibnu Waki', telah menceritakan kepada kami Ibnu Fudail, dari Harun ibnu Antrah, dari ayahnya yang men­ceritakan bahwa ketika diturunkan firman-Nya Pada hari ini telah Kusempurnakan bagi kalian agama kalian. Al-Maidah 3 Hal ini terjadi pada hari haji Akbar. Maka Umar menangis, lalu Nabi Saw. bertanya kepadanya "Mengapa engkau menangis?" Umar menjawab, "Aku menangis karena sejak dahulu kita masih terus ditambahi dalam agama ki­ta, adapun sekarang ia telah sempurna; dan sesungguhnya tidak sekali-kali sesuatu itu sempurna, melainkan kelak akan berku­rang." Nabi Saw. menjawab, "Kamu benar." Makna hadis ini diperkuat oleh hadis yang mengatakan "إِنَّ الْإِسْلَامَ بَدَأَ غَرِيبًا، وَسَيَعُودُ غَرِيبًا، فَطُوبَى للغُرَبَاء". Sesungguhnya Islam bermula dari keterasingan, dan kelak akan kembali menjadi terasing, maka beruntunglah bagi orang-orang yang terasing. قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ عَوْن، حَدَّثَنَا أَبُو العُمَيْس، عَنْ قَيْسِ بْنِ مُسْلِمٍ، عَنْ طَارِقِ بْنِ شِهَابٍ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ مِنَ الْيَهُودِ إِلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ [رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ] فَقَالَ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ، إِنَّكُمْ تَقْرَءُونَ آيَةً فِي كِتَابِكُمْ، لَوْ عَلَيْنَا مَعْشَرَ الْيَهُودِ نَزَلَتْ لَاتَّخَذْنَا ذَلِكَ الْيَوْمَ عِيدًا. قَالَ وَأَيُّ آيَةٍ؟ قَالَ قَوْلُهُ {الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي} فَقَالَ عُمَرُ وَاللَّهِ إني لَأَعْلَمُ الْيَوْمَ الَّذِي نَزَلَتْ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَالسَّاعَةَ الَّتِي نَزَلَتْ فِيهَا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، نَزَلَتْ عَشية عَرَفَة فِي يَوْمِ جُمُعَةٍ. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ja'far ib­nu Aun, telah menceritakan kepada kami Abul Umais, dari Qais ibnu Muslim, dari Tariq ibnu Syihab yang menceritakan bahwa ada se­orang lelaki Yahudi datang kepada Khalifah Umar ibnul Khattab, lalu berkata, "Hai Amirul Mu’minin, sesungguhnya kamu biasa membaca suatu ayat dalam Kitab kamu, seandainya hal itu diturunkan kepada kami golongan orang-orang Yahudi, niscaya kami akan menjadikan hari itu sebagai hari raya." Khalifah Umar bertanya, "Ayat apakah itu?" Orang Yahudi tersebut membacakan firman-Nya Pada hari ini telah Kusempurnakan bagi kalian agama kalian, dan telah Kucukupkan kepada kalian nikmat-Ku. Al-Maidah 3 Maka Khalifah Umar berkata, "Demi Allah, sesungguhnya aku benar-benar mengetahui hari ayat ini diturunkan kepada Rasulullah Saw. dan saat penurunannya kepada Rasulullah Saw. yaitu pada sore hari Arafah yang jatuh pada hari Jumat." Imam Bukhari meriwayatkannya dari Al-Hasan ibnus Sabbali, dari Ja'far ibnu Aun dengan lafaz yang sama. Imam Muslim, Imam Turmuzi, dan Imam Nasai meriwayatkannya melalui berbagai jalur dari Qais ibnu Muslim dengan lafaz yang sama. Menurut lafaz Imam Bukhari dalam tafsir ayat ini melalui jalur Sufyan AS-Sauri, dari Qais, dari Tariq, orang-orang Yahudi berkata kepada Umar, "Sesungguhnya kalian biasa membaca suatu ayat, sean­dainya ayat itu diturunkan kepada kami, niscaya kami akan menjadi­kan hari turunnya sebagai hari raya." Maka Umar ibnul Khattab menjawab, "Sesungguhnya aku benar-benar mengetahui saat ayat itu diturunkan, kapan diturunkannya, dan di mana Rasulullah Saw. ber­ada saat menerima penurunan ayat itu. Ayat tersebut diturunkan pada hari Arafah, sedangkan aku —demi Allah— berada di Arafah pula." Sufyan mengatakan bahwa dia merasa ragu apakah hal itu terjadi pada hari Jumat ataukah bukan, yaitu turunnya ayat berikut Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian. Al-Maidah 3, hingga akhir ayat. Sufyan merasa ragu jika disebutkan di dalam riwayat, maka hal itu merupakan sikap hati-hatinya bila ditinjau dari segi keraguan, apakah gurunya telah mengabarkan hal itu atau tidak. Jika ia merasa ragu perihal kejadian wuquf pada haji wada' adalah hari Jumat, hal ini me­nurut kami bukan keluar dari Sufyan, mengingat hal ini merupakan suatu perkara yang telah dimaklumi dan telah dipastikan, tiada se­orang pun dari kalangan Ahli Magazi dan sejarah —tidak pula Ahli Fiqih— yang memperselisihkannya. Karena banyak hadis mutawatir yang menerangkan bahwa kejadian itu hari Jumat, tiada yang meragu­kan kesahihannya. Hal tersebut diriwayatkan dari Umar melalui ber­bagai jalur. Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ya'qub ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ulayyah, telah mence­ritakan kepada kami Raja ibnu Abu Salamah, telah menceritakan ke­pada kami Ubadah ibnu Nissi, telah menceritakan kepada kami Amir kami yaitu Ishaq yang menurut Abu Ja'far ibnu Jarir dia adalah Ishaq ibnu Harsyah, dari Qubaisah yakni Ibnu Abu Zi-b yang mengatakan bahwa Ka'b pernah mengatakan, "Seandainya selain umat ini yang diturunkan kepada mereka ayat tersebut, niscaya mereka akan mempertimbangkan hari ayat tersebut diturunkan kepada me­reka, lalu mereka menjadikannya sebagai hari raya, hari mereka ber­kumpul padanya." Lalu Umar bertanya, "Ayat apakah yang kamu maksudkan, hai Ka'b?'" Maka Ka'b menjawab, yaitu firman Allah Swt. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian. Al-Maidah 3 Maka Umar menjawab, "Sesungguhnya aku mengetahui hari ayat ini diturunkan dan tempat penurunannya. Ayat ini diturunkan pada hari Jumat di hari Arafah. Kedua-duanya Alhamdulillah merupakan hari raya bagi kami umat Islam." Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Ku­raib, telah menceritakan kepada kami Qubaisah, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, dari Ammar yaitu maula Bani Hasyim, bahwa Ibnu Abbas membacakan firman-Nya Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Kucukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Ku­ridai Islam itu jadi agama bagi kalian. Al-Maidah 3; Lalu ada seorang Yahudi berkata, "Seandainya ayat ini diturunkan ke­pada kami, niscaya kami akan menjadikan hari penurunannya sebagai hari raya." Maka Ibnu Abbas menjawab, "Sesungguhnya ayat ini di­turunkan pada dua hari raya sekaligus, yaitu hari raya dan hari Jum­at." Ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Kamil, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Ha­run, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnul Hamani, telah men­ceritakan kepada kami Qais ibnur Rabi', dari Ismail ibnu Sulaiman, dari Abu Umar Al-Bazzar, dari Ibnul Hanafiyah, dari Ali yang mengatakan bahwa ayat berikut diturunkan kepada Rasulullah Saw. ke­tika beliau sedang wuquf di Arafah pada sore harinya, yaitu firman-Nya Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian. Al-Maidah 3 Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Amir Is­mail ibnu Amr As-Sukuni, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Ammar, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ayyasy, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Qais As-Sukuni, bahwa ia per­nah mendengar Mu'awiyah ibnu Abu Sufyan membaca ayat berikut di atas mimbarnya, yaitu firman Allah Swt. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian. Al-Maidah 3, hingga akhir ayat. Lalu Mu'awiyah berkata bahwa ayat ini diturunkan pada hari Arafah yang jatuh pada hari Jumat. Ibnu Murdawaih meriwayatkan melalui jalur Muhammad Bani Ishaq. dari Amr ibnu Musa ibnu Dahiyyah, dari Qatadah, dari Al-Hasan, dari Samurah yang mengatakan bahwa firman-Nya Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Kucukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Ku­ridai Islam itu jadi agama bagi kalian. Al-Maidah 3 diturunkan di Arafah ketika Rasulullah Saw. sedang melakukan wuquf di mauqif. Mengenai apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, Ibnu Murda­waih, dan Imam Tabrani melalui jalur Ibnu Luhai'ah, dari Khalid ib­nu Abu Imran, dari Hanasy ibnu Abdullah As-San'ani, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Nabi kalian dilahirkan pada hari Se­nin, dan beliau Saw. keluar meninggalkan Mekah menuju Madinah pada hari Senin, dan beliau Saw. memasuki kota Madinah pada hari Senin, dan Perang Badar dimulai pada hari Senin, serta surat Al-Maidah diturunkan pada hari Senin, yakni firman-Nya Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian. Al-Maidah 3 Zikir Al-Qur’an diangkat pada hari Senin yakni nanti di hari ki­amat. Maka asar ini berpredikat garib dan sanadnya daif. Tetapi hal ini diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Daud, telah menceritakan ke­pada kami Ibnu Luhai'ah. dari Khalid ibnu Abu Imran, dari Hanasy As-San'ani, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Nabi Saw. dilahirkan pada hari Senin, diangkat menjadi Nabi pada hari Senin, ke­luar meninggalkan Mekah berhijrah ke Madinah pada hari Senin, dan tiba di Madinah pada hari Senin, wafat pada hari Senin, dan Hajar Aswad diletakkan pada hari Senin. Demikianlah lafaz riwayat Imam Ahmad, tetapi tidak disebutkan padanya penurunan surat Al-Maidah pada hari Senin. Barangkali Ibnu Abbas bermaksud bahwa ayat ini diturunkan pada dua hari raya sekaligus, seperti pada asar di atas, te­tapi perawi keliru dalam mengemukakannya. Ibnu Jarir mengatakan, suatu pendapat mengatakan bahwa me­ngenai harinya tidak diketahui oleh orang-orang. Kemudian Ibnu Jarir meriwayatkan melalui jalur Al-Aufi, dari Ibnu Abbas mengenai fir­man-Nya Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian. Al-Maidah 3; Ibnu Abbas mengatakan bahwa hari itu hari yang tidak diketahui oleh orang-orang. Ibnu Jarir mengatakan pula, adakalanya dikatakan bah­wa surat ini diturunkan kepada Rasulullah Saw. sewaktu beliau dalam perjalanannya ke haji wada'. Kemudian Ibnu Jarir meriwayatkannya melalui jalur Abu Ja'far Ar-Razi, dari Ar-Rabi' ibnu Anas. Menurut kami, Ibnu Murdawaih meriwayatkan melalui jalur Abu Harun Al-Abdi, dari Abu Sa'id Al-Khudri, bahwa surat ini diturunkan kepada Rasulullah Saw. pada hari Gadir Kham, yaitu ketika Nabi Saw. bersabda kepada Ali "مَنْ كنتُ مَوْلَاهُ فَعَليٌّ مَوْلَاهُ" Barang siapa yang aku menjadi pemimpinnya, maka Ali adalah pemimpinnya pula. Kemudian Ibnu Murdawaih meriwayatkannya melalui Abu Hurairah, antara lain disebutkan bahwa hari itu adalah hari kedelapan belas dari bulan Zul Hijjah. Dengan kata lain, di saat Nabi Saw. kembali dari haji wada'nya. Tetapi baik riwayat ini ataupun riwayat di atas tiada yang sahih. Bahkan yang benar dan tidak diragukan lagi ialah riwayat yang mengatakan bahwa surat Al-Maidah diturunkan pada hari Ara­fah yang saat itu jatuhnya bertepatan dengan hari Jumat Yaitu seperti yang tertera pada riwayat Amirul Mu’minin Umar ibnul Khattab, Ali ibnu Abu Talib, raja Islam pertama yaitu Mu'awiyah ibnu Abu Suf­yan, juru tafsir Al-Qur'an yaitu Abdullah ibnu Abbas, dan Samurah ibnu Jundub, radiyallahu anhum. Asar ini di-mursal-kan oleh Asy-Sya'bi, Qatadah ibnu Di'amah, dan Syahr ibnu Hausyab serta lain-lainnya yang bukan hanya seorang dari kalangan para imam dan para ulama. Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Jarir Ath-Thabari. ***** Firman Allah Swt. {فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لإثْمٍ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ} Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Al-Maidah 3 Artinya, barang siapa yang terpaksa memakan sebagian dari hal-hal yang diharamkan oleh Allah —seperti yang telah disebutkan di atas— karena keadaan darurat yang memaksanya melakukan hal itu, maka dia boleh memakannya. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penya­yang kepadanya, karena Allah Swt. mengetahui kebutuhan hamba­Nya yang terpaksa dan keperluannya akan hal tersebut. Maka dari itu Allah memaafkan dan mengampuninya. Di dalam kitab musnad dan kitab sahih Ibnu Hibban disebutkan sebuah hadis dari Ibnu Umar secara marfu', bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda "إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ أَنْ تُؤْتَى رُخْصته كَمَا يَكْرَهُ أَنْ تُؤْتَى مَعْصِيته" Sesungguhnya Allah suka bila rukhsah-rukhsah kemurahan-kemurahan-Nya dikerjakan, sebagaimana Dia benci bila perbuat­an durhaka kepada-Nya dikerjakan. Demikianlah menurut lafaz Imam Ibnu Hibban. Sedangkan menurut lafaz Imam Ahmad disebutkan seperti berikut مَنْ لَمْ يَقْبَلْ رُخْصَة اللَّهِ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الْإِثْمِ مِثْلَ جِبَالِ عَرَفَةَ" Barang siapa yang tidak mau menerima rukhsah kemurahan Allah, maka atas dirinya dosa yang besarnya semisal dengan Bu­kit Arafah. Karena itu, maka ulama fiqih mengatakan bahwa adakalanya mema­kan bangkai itu hukumnya wajib, yaitu bila orang yang bersangkutan merasa khawatir terhadap keselamatan jiwanya, sedangkan di tempat ia berada tidak ditemukan selainnya yakni selain bangkai itu. Ada­kalanya memakan bangkai itu hukumnya sunat, adakalanya hukum­nya mubah boleh, semua ditentukan oleh keadaan. Tetapi ulama fiqih berselisih pendapat mengenai masalah kadar yang dimakannya, apakah hanya sekadar untuk menutupi kebutuhan saja, atau sampai sekenyangnya, atau sampai kenyang, dan boleh membekali diri dengannya? Banyak pendapat di kalangan mereka mengenai masalah ini, semuanya disebutkan di dalam kitab-kitab fiqih. Mereka berselisih pendapat pula dalam masalah bilamana orang yang bersangkutan menjumpai bangkai hewan dan makanan milik orang lain atau hewan buruan, sedangkan dia dalam keadaan ihram. Masalahnya ialah apakah dia boleh memakan bangkai itu atau hewan buruan yang mengharuskan dia bayar denda, atau makanan milik orang lain yang konsekuensinya dia harus menggantinya. Ada dua pendapat mengenai masalah ini, kedua-duanya dikatakan oleh Imam Syafii rahimahullah. Bukan termasuk syarat, boleh memakan bangkai bila orang yang bersangkutan telah menjalani masa tiga hari tanpa menjumpai suatu makanan pun, seperti yang diduga oleh kebanyakan kalangan awam dan lain-lainnya. Bahkan manakala orang yang bersangkutan dalam keadaan terpaksa harus memakannya, maka diperbolehkan baginya melakukannya. قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ، حَدَّثَنَا الْأَوْزَاعِيُّ، حَدَّثَنَا حَسَّانُ بْنُ عَطِيَّةَ، عَنْ أَبِي وَاقِدٍ اللَّيْثِيِّ أَنَّهُمْ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّا بِأَرْضٍ تُصِيبُنَا بِهَا الْمَخْمَصَةُ، فَمَتَى تَحِلُّ لَنَا بِهَا الْمَيْتَةُ؟ فَقَالَ "إِذَا لَمْ تَصْطَبِحوا، وَلَمْ تَغْتَبِقُوا، وَلَمْ تَجتفئوا بقْلا فَشَأْنُكُمْ بِهَا ". Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Walid ibnu Muslim, telah menceritakan kepada kami Al-Auza'i, telah menceritakan kepada kami Hassan ibnu Atiyyah, dari Abu Waqid Al-Laisi, bahwa mereka pernah bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguh­nya kami berada di suatu tempat dan kami mengalami kelaparan di tempat itu. Bilakah diperbolehkan bagi kami memakan bangkai di tempat itu?" Rasulullah Saw. menjawab Bilamana kalian tidak mendapatkan untuk makan pagi dan tidak pula untuk makan sore hari serta tidak dapat memperoleh sayur-sayuran padanya, maka bangkai itu terserah kamu. Hadis diriwayatkan secara munfarid oleh Imam Ahmad bila ditinjau dari segi ini, tetapi sanadnya sahih dengan syarat Syaikhain. Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, dari Abdul A'la ibnu Wasil, dari Muhammad ibnul Qasim Al-Asadi, dari Al-Auza'i dengan lafaz yang sama. Tetapi sebagian mereka meriwayatkannya dari Al-Auza'i, dari Hassan ibnu Atiyyah, dari Muslim ibnu Yazid, dari Abu Waqid dengan lafaz yang sama. Di antara mereka ada yang meriwa­yatkannya dari Al-Auza'i, dari Hassan, dari Marsad atau Abu Marsad, dari Abu Waqid dengan lafaz yang sama. Ibnu Jarir meriwayatkannya dari Hannad ibnus Sirri, dari Isa ibnu Yunus, dari Hassan, dari seorang lelaki yang telah disebutkan namanya oleh dia, lalu ia menuturkan hadis ini. Ibnu Jarir meriwayat­kan pula dari Hannad, dari Ibnul Mubarak, dari Al-Auza'i, dari Has­san secara mursal. قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ حَدَّثَنِي يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا ابْنُ عُلَيَّة، عَنْ عَوْن قَالَ وَجَدْتُ عِنْدَ الْحَسَنِ كِتَابَ سَمُرة، فَقَرَأْتُهُ عَلَيْهِ، فَكَانَ فِيهِ "ويُجزى من الأضرار غَبُوق أَوْ صُبُوحٌ " Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ya'qub ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ulayyah, dari Ibnu Aun yang menceritakan bahwa ia pernah menemukan catatan Samurah pada Al-Hasan, lalu ia membacanya, dan yang terdapat pa­danya antara lain ialah, "Cukup bagi yang terpaksa memakan sekadar makan malam atau makan paginya." حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْب، حَدَّثَنَا هُشَيْم، عَنِ الخَصيب بْنِ زَيْدٍ التَّمِيمِيِّ حَدَّثَنَا الْحَسَنُ، أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ [إِلَى] مَتَى يَحِلُّ [لِي] الْحَرَامُ؟ قَالَ فَقَالَ "إِلَى مَتَى يَرْوى أَهْلُكَ مِنَ اللَّبَنِ، أَوْ تَجِيءُ مِيرَتُهم ". Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Hasyim, dari Al-Khasib ibnu Zaid At-Tamimi, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan, bahwa seorang lelaki bertanya kepada Nabi Saw. Untuk itu ia mengatakan, "Sampai kapan yang haram dihalalkan?" Nabi Saw. menjawab melalui sabdanya Sampai dengan keluargamu merasa kenyang karena minum air susu atau sampai datang makanan mereka. حَدَّثَنَا ابْنُ حُمَيْدٍ، حَدَّثَنَا سَلَمَةُ، عَنِ ابْنِ إِسْحَاقَ، حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ جَدِّهِ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ، عَنْ جَدَّتِهِ ؛ أَنَّ رَجُلًا مِنَ الْأَعْرَابِ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَفْتِيهِ فِي الَّذِي حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ، وَالَّذِي أَحَلَّ لَهُ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ "تَحِلُّ لَكَ الطَّيِّبَاتُ، وتَحْرُم عَلَيْكَ الْخَبَائِثُ إِلَّا أَنْ تَفْتَقِر إِلَى طَعَامٍ لَا يَحِلُّ لَكَ، فَتَأْكُلَ مِنْهُ حَتَّى تَسْتَغْنِيَ عَنْهُ". فَقَالَ الرَّجُلُ وَمَا فَقْرِي الَّذِي يُحِلُّ لِي؟ وَمَا غِنَايَ الَّذِي يُغْنِينِي عَنْ ذَلِكَ؟ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ "إِذَا كُنْتَ تَرْجُو نِتَاجًا، فَتَبْلُغُ بلُحُوم مَاشِيَتِكَ إِلَى نِتَاجِكَ، أَوْ كُنْتَ تَرْجُو غِنًى، تَطْلُبُهُ، فَتَبْلُغُ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا، فَأَطْعِمْ أَهْلَكَ مَا بَدَا لَكَ حَتَّى تَسْتَغْنِيَ عَنْهُ". فَقَالَ الْأَعْرَابِيُّ مَا غِنَايَ الَّذِي أَدَعُهُ إِذَا وَجَدَتُهُ؟ فَقَالَ [النَّبِيُّ] صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ "إِذَا أَرُوِيَتْ أَهْلُكَ غَبُوقا مِنَ اللَّيْلِ، فَاجْتَنِبْ مَا حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْكَ مِنْ طَعَامٍ، وَأَمَّا مَالُكَ فَإِنَّهُ مَيْسُورٌ كُلُّهُ، لَيْسَ فِيهِ حَرَامٌ". Telah menceritakan kepada kami Ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Salamah, dari Ishaq, telah menceritakan kepadaku Umar ibnu Abdullah ibnu Urwah, dari kakeknya yaitu Urwah ibnuz Zubair, dari neneknya, bahwa seorang lelaki Badui pernah datang ke­pada Nabi Saw. untuk meminta fatwa kepadanya mengenai barang-barang yang diharamkan oleh Allah dan barang-barang yang dihalal­kan Allah untuknya. Maka Nabi Saw. menjawab melalui sabdanya Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan diharamkan bagimu yang buruk-buruk, kecuali jika kamu terpaksa memerlukan makanan untuk dirimu; maka kamu boleh memakan sebagian darinya hingga kamu merasa berkecukupan. Maka lelaki Badui itu bertanya, "Sampai batas manakah keperluanku yang menghalalkan aku memakannya, dan sampai batas manakah kecukupanku yang membuat aku tidak memerlukannya lagi?" Nabi Saw. bersabda Apabila kamu mencari makanan untuk mencukupimu, lalu kamu menemukan sesuatu dari bangkai itu, maka berilah makan ke­luargamu menurut apa yang kamu kehendaki hingga kamu me­rasa cukup darinya. Lalu lelaki Arab Badui itu bertanya lagi, "Sampai batas manakah ke­cukupan yang mengharuskan aku meninggalkannya jika aku menjumpainya lagi?" Maka Nabi Saw. bersabda Jika kamu telah dapat mengenyangkan keluargamu dengan minuman susu di malam hari, maka jauhilah dari makananmu, makanan yung diharamkan oleh Allah bagimu. Karena sesungguh­nya makananmu yang halal itu semuanya mudah didapat dan tidak ada yang haram padanya. Makna sabda Nabi Saw. yang mengatakan, "Ma lam tastabihu" ialah selagi kamu tidak menjumpai untuk makan pagi. Makna ma lam tag-tabiqu ialah selagi kamu tidak menjumpai untuk makan malam. Yang dimaksud dengan au tahtaji-u baqalah fasya-nukum biha ialah atau kamu tidak menemukan sayur-sayuran untuk mengganti makananmu, maka makanlah bangkai itu. Ibnu Jarir mengatakan bahwa lafaz lahtafi-u diriwayatkan mem­punyai empat bacaan, yaitu lahfau. tahiafiyu, tahtaffii, dan tahlaju. Tetapi dapat pula memakai hamzah hingga menjadi tahlafiu. Demi­kianlah menurutnya dalam kitab tafsirnya. حَدِيثٌ آخَرُ قَالَ أَبُو دَاوُدَ حَدَّثَنَا هَارُونُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، حَدَّثَنَا الْفَضْلُ بْنُ دُكَيْن، حَدَّثَنَا عُقْبَة بْنُ وَهْب بْنِ عُقْبَةَ الْعَامِرِيُّ سَمِعْتُ أَبِي يُحَدِّثُ عَنِ الْفَجِيعِ الْعَامِرِيِّ؛ أَنَّهُ أَتَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم فقال مَا يَحِلُّ لَنَا مِنَ الْمِيتَةِ؟ قَالَ "مَا طَعَامُكُمْ؟ " قُلْنَا نَغْتَبِقُ وَنَصْطَبِحُ. قَالَ أَبُو نُعَيْمٍ فَسَّرَه لِي عُقْبَةُ قَدَحُ غُدوة، وَقَدَحُ عَشيَّة قَالَ "ذَاكَ وَأَبِي الجُوعُ". وَأُحِلَّ لَهُمُ الْمَيْتَةُ عَلَى هَذِهِ الْحَالِ. Hadis lain. Imam Abu Daud mengatakan, telah menceritakan ke­pada kami Harun ibnu Abdullah, telah menceritakan kepada kami Al-Fadl ibnu Dakin, telah menceritakan kepada kami Wahb ibnu Uqbah Al-Amiri, bahwa ia pernah mendengar ayahnya menceritakan hadis dari An-Naji' Al-Amiri bahwa An-Naji’ Al-Amiri pernah datang ke­pada Rasulullah Saw., lalu bertanya, "Bilakah bangkai dihalalkan bagi kami?" Nabi Saw. balik bertanya, "Apa sajakah makanan kalian?" Kami menjawab, "Segelas susu di pagi hari dan segelas susu di ma­lam hari." Abu Na'im mengatakan bahwa Uqbah mengartikan kepa­daku makna nastabih dan nagtabiq yaitu segelas susu di pagi hari dan segelas susu di petang hari. Nabi Saw. bersabda, "Yang demikian itu, demi ayahku, dinamakan kelaparan." Nabi Saw. menghalalkan bang­kai untuk mereka dalam keadaan demikian. Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Abu Daud secara munfarid. Seakan-akan mereka di pagi hari dan petang harinya memakan se­suatu yang tidak mencukupi mereka, lalu Nabi Saw. menghalalkan bangkai untuk mereka untuk memenuhi kecukupan mereka. Hadis ini dijadikan sebagai dalil oleh orang yang berpendapat bo­leh memakan sebagian dari bangkai sampai kenyang, dan tidak terikat dengan batasan hanya untuk menyelamatkan nyawa saja. حَدِيثٌ آخَرُ قَالَ أَبُو دَاوُدَ حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ، حَدَّثَنَا حَمَّادٌ، حَدَّثَنَا سِمَاكٌ، عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَة، أَنْ رَجُلًا نَزَلَ الحَرَّةَ، وَمَعَهُ أَهْلُهُ وَوَلَدُهُ، فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ إِنَّ نَاقَةً لِي ضَلَّت، فَإِنْ وَجَدْتَهَا فَأَمْسِكْهَا، فَوَجَدَهَا وَلَمْ يَجِدْ صَاحِبَهَا، فَمَرِضَتْ فَقَالَتِ امْرَأَتُهُ انْحَرْهَا، فَأَبَى، فَنَفَقَتْ، فَقَالَتْ لَهُ امْرَأَتُهُ اسْلُخْهَا حَتَّى نُقدد شَحْمَها وَلَحْمَهَا فَنَأْكُلَهُ. فَقَالَ حَتَّى أَسْأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَتَاهُ فَسَأَلَهُ، فَقَالَ "هَلْ عِنْدَكَ غِنًى يُغْنِيك؟ " قَالَ لَا. قَالَ " فَكُلُوهَا". قَالَ فَجَاءَ صَاحِبُهَا فَأَخْبَرَهُ الْخَبَرَ، فَقَالَ هَلَّا كُنْتَ نَحَرْتَهَا؟ قَالَ اسْتَحْيَيْتُ مِنْكَ. Hadis lain diriwayatkan oleh Imam Abu Daud. Disebutkan bah­wa telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Ismail, telah menceri­takan kepada kami Hammad, telah menceritakan kepada kami Sammak, dari Jabir, dari Samurah. bahwa seorang lelaki turun istirahat di Harrah pinggir Madinah disertai istri dan anak laki-lakinya. Ada le­laki lain yang berkata kepadanya, "Sesungguhnya untaku hilang le­pas. Jika kamu menemukannya, tolonglah tangkap ia." Lalu ia menemukannya, tetapi tidak menjumpai pemiliknya karena telah pergi. Kemudian lelaki itu sakit, maka istrinya berkata kepadanya, "Sem­belihlah unta temuan ini." Ia menolak dan sakitnya bertambah parah. Lalu istrinya berkata lagi kepadanya.”Sayatlah salah satu bagiannya, lalu kamu dendeng lemak dan dagingnya, kemudian kita makan ber­sama." Ia menjawab, "Tidak, sebelum aku tanyakan lebih dahulu ke­pada Rasulullah Saw." Lelaki ku datang kepada Rasulullah Saw. dan menanyakan hal itu kepadanya. Maka Rasulullah Saw. bertanya, "Apakah kamu memiliki makanan yang mencukupimu?" Ia menjawab, 'Tidak." Nabi Saw. bersabda, "Maka makanlah daging sayatan itu." Tidak lama kemudian datanglah pemilik unta itu, dan ia mengabarinya. Ternyata pemilik unta itu berkata, "Mengapa tidak kamu sembelih saja untaku itu?" Ia menjawab, "Aku malu kepadamu." Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Abu Daud secara munfarid. Hadis ini dijadikan dalil oleh orang yang membolehkan memakan bangkai sampai kenyang serta mengambil bekal darinya selama masa yang diperlukan, menurut dugaannya yang kuat. ***** Firman Allah Swt. {غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لإثْمٍ} tanpa sengaja berbuat dosa. Al-Maidah 3 Yakni tidak sengaja berbuat maksiat kepada Allah, maka sesungguh­nya Allah telah membolehkan hal tersebut. Dalam ayat ini tidak dise­butkan hal lainnya yang disebutkan di dalam surat Al-Baqarah melalui firman-Nya {فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلا عَادٍ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ} Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa memakannya, sedangkan ia tidak durhaka dan tidak pula melampaui batas, ma­ka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengam­pun lagi Maha Penyayang. Al-Baqarah 173 Ayat ini dijadikan dalil oleh orang yang mengatakan bahwa orang yang bepergian untuk maksiat tidak diperbolehkan melakukan sesuatu pun dari rukhsah-rukhsah yang diberikan kepada seorang musafir, ka­rena rukhsah tidak dapat dilakukan dengan adanya maksiat. Sumber حُرِّمَتْعَلَيْكُمُ ٱلْمَيْتَةُ وَٱلدَّمُ وَلَحْمُ ٱلْخِنزِيرِ وَمَآ أُهِلَّ لِغَيْرِ ٱللَّهِ بِهِۦ وَٱلْمُنْخَنِقَةُ وَٱلْمَوْقُوذَةُ وَٱلْمُتَرَدِّيَةُ وَٱلنَّطِيحَةُ وَمَآ أَكَلَ ٱلسَّبُعُ إِلَّا مَا بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ اَلزَّانِيْ لَا يَنْكِحُ اِلَّا زَانِيَةً اَوْ مُشْرِكَةً ۖوَّالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَآ اِلَّا زَانٍ اَوْ مُشْرِكٌۚ وَحُرِّمَ ذٰلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ ﴿٣﴾ az-zānī lā yangkiḥu illā zāniyatan au musyrikataw waz-zāniyatu lā yangkiḥuhā illā zānin au musyrik, wa ḥurrima żālika 'alal-mu`minīn Pezina laki-laki tidak boleh menikah kecuali dengan pezina perempuan, atau dengan perempuan musyrik; dan pezina perempuan tidak boleh menikah kecuali dengan pezina laki-laki atau dengan laki-laki musyrik; dan yang demikian itu diharamkan bagi orang-orang mukmin. 3 Sebab Turunnya Ayat An-Nasa’i meriwayatkan dari Abdullah bin Amr bahwa dahulu ada seorang wanita bernama Ummu Mahzul yang berprofesi sebagai pelacur, lalu ada salah satu sahabat Nabi saw. yang ingin mengawininya. Maka Allah menurunkan ayat iniAbu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, dan al-Hakim meriwayatkan dari hadits Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya bahwa dahulu seorang laki-laki yang bernama Mazid dibawa dari tawanan di Mekah hingga sampai di Madinah. Dia punya seorang kawan wanita di Mekah yang bernama Inaq. Dia minta izin kepada Nabi saw. untuk mengawini wanita tersebut, akan tetapi beliau sama sekali tidak menjawab, hingga turun ayat ini. Maka Rasulullah bersabda, “Hai Mazid! Pezina laki-laki tidak boleh menikah kecuali dengan pezina atau perempuan musyrik”. Karena itu, jangan mengawininya!”Sa’id bin Manshur meriwayatkan dari Mujahid bahwa ketika Allah mengharamkan zina-padahal para wanita pelacur itu cantik-cantik- ada yang berkata, “Biarlah mereka bebas dan menikah.” Maka turunlah ayat ini.
SuratAl-Maidah Asbabun Nuzul (Al-Maidah: 3), hingga akhir ayat. Sufyan merasa ragu jika disebutkan di dalam riwayat, maka hal itu merupakan sikap hati-hatinya bila ditinjau dari segi keraguan, apakah gurunya telah mengabarkan hal itu atau tidak. Jika ia merasa ragu perihal kejadian wuquf pada haji wada' adalah hari Jumat, hal ini me­nurut
Surat Al Maidah ayat 3 adalah ayat tentang kesempurnaan Islam. Berikut ini arti, tafsir dan kandungan Surat Al Maidah ayat 3. Surat Al Maidah المائدة termasuk madaniyah. Imam Ahmad meriwayatkan, surat ini turun ketika Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sedang naik unta. Hampir saja paha unta itu patah karena begitu beratnya wahyu yang diterima Rasulullah. Ayat 3 ini merupakan ayat terakhir yang turun dalam masalah hukum. Sekaligus menegaskan kesempurnaan Islam. Setelahnya tidak turun ayat hukum lagi hingga Rasulullah shallallahu alaihi wasallam wafat. Daftar isiSurat Al Maidah Ayat 3 Beserta ArtinyaAsbabun Nuzul Surat Al Maidah Ayat 3Tafsir Surat Al Maidah Ayat 31. Larangan makam makanan haram2. Larangan mengundi nasib3. Keputusasaan orang-orang kafir4. Kesempurnaan Islam5. Hukum keterpaksaaanKandungan Surat Al Maidah Ayat 3 Surat Al Maidah Ayat 3 Beserta Artinya Berikut ini Surat Al Maidah Ayat 3 dan artinya dalam bahasa Indonesia حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَنْ تَسْتَقْسِمُوا بِالْأَزْلَامِ ذَلِكُمْ فِسْقٌ الْيَوْمَ يَئِسَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ دِينِكُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِإِثْمٍ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ ArtinyaDiharamkan bagimu memakan bangkai, darah, daging babi, daging hewan yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan diharamkan bagimu yang disembelih untuk berhala. Dan diharamkan juga mengundi nasib dengan anak panah, mengundi nasib dengan anak panah itu adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk mengalahkan agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Asbabun Nuzul Surat Al Maidah Ayat 3 Surat Al Maidah ayat 3 ini turun pada hari Arafah saat haji wada’ dan sesudahnya tidak turun lagi ayat mengenai halal dan haram. Asma binti Umais menceritakan, “Aku ikut haji bersama Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam haji tersebut haji wada’. Ketika kami sedang berjalan, tiba-tiba Malaikat Jibril datang kepada beliau dengan membawa wahyu. Maka Rasulullah membungkuk di atas untanya. Unta itu hampir tidak kuat menopang diri Rasulullah karena beratnya wahyu yang sedang turun ….” Pernah seorang Yahudi berkata kepada Khalifah Umar bin Khattab radhiyallahu anhu, “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya engkau biasa membaca ayat dalam kitabmu, seandainya hal itu diturunkan kepada kami orang-orang Yahudi, niscaya kami akan menjadikan hari itu sebagai hari raya.” “Ayat apakah itu?” Orang Yahudi tersebut lantas membaca firman-Nya الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, Umar berkata, “Demi Allah, sesungguhnya aku benar-benar mengetahui ayat ini diturunkan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pada sore hari Arafah yang jatuh pada hari Jum’at.” Demikian jawaban cerdas Umar yang Yahudi itu sebelumnya tidak tahu. Sore hari Arafah artinya menjelang Idul Adha yang merupakan hari raya bagi kaum muslimin. Demikian pula hari Jum’at merupakan hari raya pekanan umat Islam. Baca juga Ayat Kursi Tafsir Surat Al Maidah ayat 3 disarikan dari Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Fi Zhilalil Quran, Tafsir Al Azhar, dan Tafsir Al Munir. Harapannya, agar bisa terhimpun banyak faedah yang kaya khazanah tetapi ringkas dan mudah dipahami. Kami memaparkannya menjadi beberapa poin dimulai dari redaksi ayat dan artinya. Kemudian diikuti dengan tafsirnya yang merupakan intisari dari tafsir-tafsir di atas. 1. Larangan makam makanan haram Poin pertama dari Surat Al Maidah ayat 3 adalah larangan memakan makanan haram. Apa saja makanan haram itu? حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ Diharamkan bagimu memakan bangkai, darah, daging babi, daging hewan yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan diharamkan bagimu yang disembelih untuk berhala. Yang pertama adalah al maitah الميته yang berarti bangkai. Yaitu hewan yang mati dengan sendirinya tanpa melalui penyembelihan maupun perburuan. Kecuali bangkai ikan dan belalang. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam أُحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ فَأَمَّا الْمَيْتَتَانِ فَالْحُوتُ وَالْجَرَادُ وَأَمَّا الدَّمَانِ فَالْكَبِدُ وَالطِّحَالُ Telah dihalalkan bagi kami dua bangkai dan dua darah. Dua bangkai itu adalah ikan dan belalang. Dua darah itu adalah hati dan limpa. HR. Ibnu Majah; shahih هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِل مَيْتَتُهُ Laut itu suci airnya dan halal bangkainya. HR. Abu Daud, An-Nasa’i, Tirmidzi, Ibnu Majah; shahih Yang kedua adalah ad dam الدم yaitu darah. Semua darah haram kecuali hati dan limpa sebagaimana hadits di atas. Ketiga, lahmul khinzir لحم الخنزير yaitu daging babi. Ibnu Katsir menjelaskan, babi haram bukan hanya dagingnya tetapi juga lemak, kulit, dan seluruhnya organnya. Keempat, binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Ibnu Katsir menjelaskan وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ yaitu hewan yang disembelih dengan menyebut selain Allah, hewan tersebut menjadi haram. Misalnya nama berhala atau taghut. Namun para ulama berbeda pendapat mengenai tidak membaca basmalah dengan sengaja atau lupa. Kelima, al munkhaniqah المنخنقة yaitu hewan yang tercekik. Baik disengaja dicekik maupun karena kecelakaan, misalnya tali pengikatnya mencekiknya karena ulahnya sendiri hingga ia mati. Keenam, al mauquudzah الموقوذة artinya hewan yang mati karena dipukul dengan benda berat yang tidak tajam. Ketujuh, al mutaraddiyah المتردية artinya hewan mati terjatuh. Misalnya jatuh dari atas bukit. Kedelapan, an nathiihah النطيحة artinya hewan yang mati karena ditanduk hewan lainnya. Kesembilan, hewan yang mati karena diterkam binatang buas seperti singa, harimau, serigala atau anjing liar. Kecuali jika hewan yang diterkan itu masih hidup dan sempat disembelih, ia menjadi halal. Ini juga berlaku untuk al munkhaniqah, al mauquudzah, al mutaraddiyah, dan an nathiihah. Jika mereka masih hidup dan sempat disembelih, menjadi halal. Kesepuluh, binatang yang disembelih untuk berhala. Misalnya binatang yang dijadikan qurban untuk berhala, jin, dan sejenisnya. Baca juga Surat Al Waqiah 2. Larangan mengundi nasib Poin kedua dari Surat Al Maidah ayat 3 adalah larangan mengundi nasib dengan anak panah. وَأَنْ تَسْتَقْسِمُوا بِالْأَزْلَامِ ذَلِكُمْ فِسْقٌ Dan diharamkan juga mengundi nasib dengan anak panah, mengundi nasib dengan anak panah itu adalah kefasikan. Azlam أزلام adalah bentuk jamak dari zulam yang artinya anak panah. Dulu di masa jahiliyah, orang-orang Arab sering melakukannya. Azlam merupakan tiga buah anak panah. Satu anak panah bertuliskan “lakukanlah.” Anak panah kedua bertuliskan “jangan lakukan.” Dan anak panah ketiga tidak bertuliskan apa pun. Tiga anak panah itu lalu dikoco. Jika keluar anak panah “lakukanlah” maka ia harus mengerjakan apa yang ia maksud tersebut. Jika yang keluar adalah anak panah bertuliskan “jangan lakukan” maka ia tidak boleh mengerjakan apa yang ia maksud. Dan jika yang keluar adalah anak panah yang tidak bertuliskan apa pun, ia harus mengulangi undiannya. Berdasarkan ayat ini, haram pula mengundi nasib dengan dadu dan alat yang semisal. Karena secara esensi semua itu termasuk azlam yang merupakan kefasikan. Syaikh Wahbah Az Zuhaili menjelaskan dalam Tafsir Al Munir, semua keharaman yang disebutkan sejak awal ayat ini adalah kefasikan. Islam melarang mengundi nasib dengan anak panah dan segala sarana semacamnya. Apabila seorang muslim bimbang dalam suatu urusan atau ragu-ragu hendak memilih yang mana, ragu-ragu mau mengerjakan sesuatu atau tidak, Islam mensyariatkan shalat istikharah. 3. Keputusasaan orang-orang kafir Poin ketiga dari Surat Al Maidah ayat 3 adalah keputusasaan orang-orang kafir dan bagaimana orang beriman menghadapi mereka. الْيَوْمَ يَئِسَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ دِينِكُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk mengalahkan agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Ayat ini turun saat haji wada’. Saat itu umat Islam telah meraih kemenangan demi kemenangan yang gemilang. Makkah telah futuh, bahkan Romawi pun takut berhadapan dengan kaum muslimin pada Perang Tabuk. Tidak ada kekuatan di jazirah Arab yang berani berhadapan dengan kekuatan Islam. Orang-orang kafir yang tadinya ingin mengalahkan Islam, mereka telah putus asa. “Mereka telah putus asa untuk dapat membatalkan, mengurangi, atau mengubah Islam. Allah telah menetapkan kesempurnaan untuknya, dan mencatat keabadian baginya,” kata Sayyid Qutb dalam Tafsir Fi Zhilalil Qur’an. “Kadang-kadang mereka dapat mengalahkan kaum muslimin dalam suatu peperangan atau suatu waktu, tetapi mereka tidak akan dapat mengalahkan Islam.” Karenanya, jangan takut kepada orang-orang kafir. Hanya takutlah kepada Allah Azza wa Jalla. Baca juga Surat Al Kafirun 4. Kesempurnaan Islam Poin keempat dari Surat Al Maidah ayat 3 adalah kesempurnaan Islam. الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Inilah nikmat terbesar. Allah menyempurnakan agama Islam. Agama yang sempurna tidak butuh agama lainnya. Agama yang Allah ridhai sedangkan agama-agama yang lain tidak mendapat ridha-Nya. Maka terimalah Islam sebagai agama karena sesungguhnya Islam adalah agama yang Allah sukai dan Allah ridhai. Setelah turunnya ayat kesempurnaan Islam ini, sudah tidak ada lagi ayat tentang halal haram yang turun. Karenanya Surat Al Maidah ayat 3 ini dikenal sebagai ayat terakhir yang turun tentang halal haram. Buya Hamka dalam Tafsir Al Azhar menjelaskan, sempurnanya Islam di sini adalah secara keseluruhan. Baik berkenaan dengan tuntunan aqidah, cara beribadah, menegakkan syariat, muamalat, hingga munakahat. Karenanya Umar menangis ketika ayat ini turun. Sebab ia menyadari bahwa tugas Rasulullah telah selesai dan telah dekat masanya beliau dipanggil oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan benar, 82 hari kemudian Rasulullah wafat. Ayat ini demikian luar biasa hingga orang Yahudi mengatakan seandainya ayat ini turun kepada mereka, hari turunnya ayat ini akan dijadikan sebagai hari raya. Mereka tidak tahu, bahwa hari turunnya ayat ini memang telah menjadi hari raya. Ayat ini turun pada hari Jumat, sore hari Arafah. Hari Arafah merupakan rangkaian hari raya idul adha. Hari Jumat juga merupakan hari raya pekanan bagi umat Islam. Baca juga Surat Al Falaq 5. Hukum keterpaksaaan Poin kelima dari Surat Al Maidah ayat 3 adalah hukum keterpaksaan. فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِإِثْمٍ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Haramnya kesepuluh makanan di atas, dikecualikan bagi orang-orang yang terpaksa. Yakni dalam kondisi darurat yang hanya bisa mendapatkan makanan itu misalnya bangkai. Yang jika ia tidak memakannya ia bisa meninggal. Maka dalam kondisi seperti itu, ia tidak berdosa memakan sekadar untuk bertahan hidup. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Baca juga Isi Kandungan Surat Al Maidah Ayat 3 Kandungan Surat Al Maidah Ayat 3 Berikut ini adalah isi kandungan Surat Al Maidah ayat 3 Pengharaman hewan yang disembelih atas nama selain hewan yang mati hewan yang mati terpukul benda hewan yang mati hewan yang mati tertanduk binatang hewan yang disembelih untuk yang tercekik, terpukul, terjatuh, dan tertanduk bisa halal jika masih hidup dan sempat mengundi nasib dengan anak panah maupun metode yang dilarang oleh Allah adalah kafir telah berputus asa untuk mengalahkan kaum boleh takut kepada orang-orang untuk takut dan taqwa kepada Allah telah menyempurnakan agama-Nya, maka Islam adalah agama yang terbesar adalah nikmat adalah agama yang Allah ridhai. Selain Islam, Allah tidak memberikan keringanan bagi orang-orang yang dalam kondisi darurat untuk memakan makanan haram yang jika tidak dilakukannya bisa mengakibatkan Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Baca juga Ali Imran 190-191 Demikian Surat Al Maidah ayat 3 mulai dari tulisan Arab dan terjemah dalam bahasa Indonesia, tafsir dan isi kandungan maknanya. Semoga bermanfaat dan membuat kita menjauhi apa yang Allah haramkan serta membuat kita semakin bangga dan mencintai Islam. Wallahu a’lam bish shawab. [Muchlisin BK/BersamaDakwah]
Bacaayat Al-Quran, Tafsir, dan Konten Islami Bahasa Indonesia 30 31 perang 32 hujan 33 dalil+kitab+taurat 34 pantang menyerah 35 Al hujurat ayat 12 36 Qur'an+Surat+almaidah+ayat+148 37 zabur 38 al maidah ayat 2 39 sabar 40 al Daud Nomor 3026 80 yasin ayat 12 81 dalil zabur 82 Dalil+tentang+kebenaran+adanya+kitab+al quran 83 Surat

Apa itu Asbabun Nuzul Al Maidah Ayat 3? Hello Readers! Kali ini kita akan membahas tentang asbabun nuzul al maidah ayat 3. Sebelum masuk ke dalam pembahasan, mari kita bahas terlebih dahulu apa itu asbabun nuzul. Asbabun nuzul adalah studi tentang latar belakang turunnya ayat-ayat dalam Al-Quran. Dalam studi asbabun nuzul, kita akan mempelajari konteks sejarah, sosial, dan politik pada saat ayat tersebut diturunkan. Dengan memahami asbabun nuzul, kita dapat memahami makna dan pesan yang ingin disampaikan oleh Allah SWT melalui ayat-ayat suci 3 dari surat Al-Maidah adalah salah satu ayat yang memiliki asbabun nuzul. Ayat ini berbunyi “Haram bagimu memakan bangkai, darah, daging babi, daging hewan yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan dilarang bagimu yang disembelih untuk berhala.” Latar Belakang Asbabun Nuzul Al Maidah Ayat 3 Asbabun nuzul dari ayat ini adalah terkait dengan peristiwa yang terjadi saat Rasulullah SAW dan para sahabat berada di Madinah setelah hijrah dari Mekah. Pada saat itu, para sahabat masih mengonsumsi daging yang disembelih oleh orang-orang musyrik Mekah yang tidak menyebut nama Allah SWT saat menyembelih. Para sahabat merasa bingung dan tidak tahu apakah daging tersebut halal atau tidak. Ketika Rasulullah SAW menerima wahyu dari Allah SWT mengenai larangan memakan daging yang disembelih atas nama selain Allah, para sahabat memahami bahwa daging yang mereka makan sebelumnya tidak halal. Ayat ini juga mengajarkan kepada umat Muslim untuk memperhatikan kesehatan dan kebersihan dalam memilih makanan yang dikonsumsi. Makna Asbabun Nuzul Al Maidah Ayat 3 Ayat ini mengajarkan kepada umat Muslim untuk memilih makanan yang halal dan baik untuk kesehatan. Umat Muslim harus memperhatikan kualitas dan kebersihan makanan yang dikonsumsi agar tidak membahayakan kesehatan dan kehidupan. Ayat ini juga mengajarkan tentang pentingnya menyebut nama Allah SWT saat menyembelih itu, ayat ini juga memberikan pengajaran tentang kebijakan Islam yang mengatur hubungan antara manusia dan binatang. Umat Muslim harus memperlakukan binatang dengan baik dan tidak menyiksa mereka. Islam juga mengajarkan umatnya untuk menjaga keseimbangan alam dan tidak merusak lingkungan hidup. Relevansi Asbabun Nuzul Al Maidah Ayat 3 dengan Kehidupan Modern Meskipun ayat ini diturunkan pada masa Rasulullah SAW, namun relevansinya masih sangat penting dalam kehidupan modern. Kualitas dan kebersihan makanan yang dikonsumsi sangat penting dalam menjaga kesehatan dan kehidupan. Umat Muslim harus memahami hal ini dan memilih makanan yang halal dan baik untuk itu, Islam juga mengajarkan tentang pentingnya menjaga lingkungan hidup dan tidak merusak alam. Hal ini sangat penting dalam kehidupan modern di mana kita harus memperhatikan dampak lingkungan dari setiap tindakan yang kita lakukan. Kesimpulan Dalam artikel ini, kita telah membahas tentang asbabun nuzul al maidah ayat 3. Ayat ini memberikan pengajaran tentang pentingnya memilih makanan yang halal dan baik untuk kesehatan, serta pentingnya menyebut nama Allah SWT saat menyembelih hewan. Ayat ini juga mengajarkan tentang kebijakan Islam yang mengatur hubungan antara manusia dan binatang. Meskipun ayat ini diturunkan pada masa Rasulullah SAW, namun relevansinya masih sangat penting dalam kehidupan modern. Umat Muslim harus memahami hal ini dan memilih makanan yang halal dan baik untuk kesehatan serta menjaga lingkungan hidup. Semoga artikel ini dapat bermanfaat dan meningkatkan pemahaman kita tentang ajaran Islam. Sampai jumpa kembali di artikel menarik lainnya!

SuratAl Maidah adalah surat kelima dalam Alquran. Al Maidah termasuk golongan surat Madaniyah dan memiliki 120 ayat. Di antara 120 ayat, salah satunya dikhususkan untuk membahas soal pernikahan, tepatnya pada ayat 5. Pernikahan yang dibahas dalam surat Al Maiday ayat 5 adalah pernikahan seorang Muslim dengan yang berbeda agama.
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيْرِ وَمَآ اُهِلَّ لِغَيْرِ اللّٰهِ بِهٖ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوْذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيْحَةُ وَمَآ اَكَلَ السَّبُعُ اِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْۗ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَاَنْ تَسْتَقْسِمُوْا بِالْاَزْلَامِۗ ذٰلِكُمْ فِسْقٌۗ اَلْيَوْمَ يَىِٕسَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْ دِيْنِكُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِۗ اَلْيَوْمَ اَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَاَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ وَرَضِيْتُ لَكُمُ الْاِسْلَامَ دِيْنًاۗ فَمَنِ اضْطُرَّ فِيْ مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِّاِثْمٍۙ فَاِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ الماۤئدة ٣Pada ayat yang lalu telah dijelaskan beberapa perbuatan yang diharamkan. Ayat ini menguraikan lebih terperinci makanan-makanan yang diharamkan. Ada sepuluh jenis makanan yang diharamkan, semuanya berasal dari hewan. Diharamkan bagimu memakan bangkai, darah yang keluar dari tubuh, sebagaimana tersebut dalam Surah alAn'a m/6 145, daging babi, dan daging hewan yang disembelih bukan atas nama Allah, demikian pula diharamkan daging hewan yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu sembelih. Hewan yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas adalah halal hukumnya kalau sempat disembelih sebelum mati. Dan diharamkan pula hewan yang disembelih untuk berhala. Dan diharamkan pula mengundi nasib dengan anak panah. Orang Arab Jahiliah menggunakan anak panah untuk menentukan apakah mereka akan melakukan suatu perbuatan atau tidak. Mereka mengambil tiga buah anak panah yang belum memakai bulu, masing-masing anak panah itu ditulis dengan kata-kata "lakukan"," jangan lakukan", dan anak panah yang ketiga tidak ditulis apa-apa. Semua anak panah itu diletakkan dalam sebuah tempat dan disimpan dalam Kakbah. Bila mereka hendak melakukan suatu perbuatan, maka mereka meminta agar juru kunci Kakbah mengambil salah satu dari tiga anak panah itu. Mereka melakukan perbuatan atau tidak melakukan perbuatan sesuai dengan bunyi kalimat yang tertulis dalam anak panah yang diambilnya. Kalau yang terambil anak panah yang tidak ada tulisannya, maka undian diulangi sekali lagi. Janganlah melakukan yang demikian itu karena itu suatu perbuatan fasik. Pada hari ini, yaitu pada waktu Haji Wada', haji terakhir yang dilakukan oleh Nabi Muhammad, orang-orang kafir telah putus asa untuk mengalahkan agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu. Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa, dibolehkan memakan makanan yang diharamkan oleh ayat ini karena lapar, bukan karena ingin berbuat dosa, maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.Diharamkan bagimu bangkai yakni memakannya darah yang mengalir seperti pada binatang ternak daging babi, hewan yang disembelih karena selain Allah misalnya disembelih atas nama lain-Nya yang tercekik yang mati karena tercekik yang dipukul yang dibunuh dengan jalan memukulnya yang jatuh dari atas ke bawah lalu mati yang ditanduk yang mati karena tandukan lainnya yang diterkam oleh binatang buas kecuali yang sempat kamu sembelih maksudnya yang kamu dapati masih bernyawa dari macam-macam yang disebutkan itu lalu kamu sembelih dan yang disembelih atas nama berhala jamak dari nishab; artinya patung dan mengundi nasib artinya menentukan bagian dan keputusan dengan anak panah azlaam jamak dari zalam atau zulam; artinya anak panah yang belum diberi bulu dan ujungnya tidak bermata. Anak panah itu ada tujuh buah disimpan oleh pengurus Kakbah dan padanya terdapat tanda-tanda. Maka tanda-tanda itulah yang mereka ambil sebagai pedoman, jika disuruh mereka lakukan dan jika dilarang mereka hentikan. Demikian itu adalah kefasikan artinya menyimpang dari ketaatan. Ayat ini turun pada hari Arafah masa haji wadak, yaitu haji terakhir yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus-asa terhadap agamamu untuk mengembalikan kamu menjadi murtad setelah mereka melihat kamu telah kuat maka janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah pada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu yakni hukum-hukum halal maupun haram yang tidak diturunkan lagi setelahnya hukum-hukum dan kewajiban-kewajibannya dan telah Kucukupkan padamu nikmat karunia-Ku yakni dengan menyempurnakannya dan ada pula yang mengatakan dengan memasuki kota Mekah dalam keadaan aman dan telah Kuridai artinya telah Kupilih Islam itu sebagai agama kalian. Maka siapa terpaksa karena kelaparan untuk memakan sesuatu yang haram lalu dimakannya tanpa cenderung atau sengaja berbuat dosa atau maksiat maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun terhadapnya atas perbuatan memakannya itu lagi Maha Pengasih kepadanya dalam memperbolehkannya. Berbeda halnya dengan orang yang cenderung atau sengaja berbuat dosa, misalnya penyamun atau pemberontak, maka tidak halal baginya memakan Swt. memberitahukan kepada hamba-hamba-Nya melalui kali­mat berita ini yang di dalamnya terkandung larangan memakan bang­kai-bangkai yang diharamkan. Yaitu hewan yang mati dengan sendiri­nya tanpa melalui proses penyembelihan, juga tanpa melalui proses pemburuan. Hal ini tidak sekali-kali diharamkan, melainkan karena padanya terkandung mudarat bahaya, mengingat darah pada hewan-hewan tersebut masih tersekap di dalam tubuhnya, hal ini berbahaya bagi agama dan tubuh. Untuk itulah maka Allah dikecualikan dari bangkai tersebut yaitu ikan, karena ikan tetap halal, baik mati karena disembelih ataupun karena penyebab lainnya. Hal ini berdasarkan kepada apa yang telah diriwayatkan oleh Imam Malik di dalam kitab Muwatta '-nya, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad di dalam kitab musnad masing-masing, Imam Abu Daud, Imam Turmuzi, Imam Nasa’i, dan Imam Ibnu Majah di dalam kitab sunnah mereka, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Hibban di dalam kitab sahih masing-masing, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Saw. per­nah ditanya mengenai air laut. Maka beliau Saw. menjawabLaut itu airnya suci dan menyucikan lagi halal yang sama dikatakan terhadap belalang yakni bangkainya, me­nurut hadis yang akan dikemukakan berikutnya. Firman Allah Swt....dan dimaksud dengan darah ialah darah yang dialirkan. Sama pe­ngertiannya dengan ayat lain, yaitu firman-Nyaatau darah yang mengalir. Al An'am145Demikianlah menurut Ibnu Abbas dan Sa'id ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Kasir ibnu Syihab Al-Mizhaji, telah menceritakan kepada kami Mu­hammad ibnu Sa'id ibnu Sabiq, telah menceritakan kepada kami Amr yakni Ibnu Qais, dari Sammak, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bah­wa ia pernah ditanya mengenai limpa. Maka ia menjawab, "Makanlah limpa itu oleh kalian." Mereka berkata, 'Tetapi limpa itu adalah da­rah?" Maka Ibnu Abbas menjawab, "Sesungguhnya yang diharamkan atas kalian itu hanyalah darah yang mengalir."Abu Abdullah Muhammad ibnu Idris Asy-Syafii mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam, dari ayahnya, dari Ibnu Umar secara marfu’ bahwa Ra­sulullah Saw. telah bersabda Dihalalkan bagi kita dua jenis bangkai dan dua jenis darah. Adapun dua jenis bangkai yaitu ikan dan belalang, dan dua jenis darah yaitu hati dan ibnu Bilal —salah seorang yang dinilai Sabat kuat— telah meriwayatkannya dari Zaid ibnu Aslam, dari Ibnu Umar secara mauauf hanya sampai pada Ibnu Umar menurut sebagian dari mereka. Menurut Abu Zar'ah Ar-Razi, yang mengatakan mauquf lebih Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Hasan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdul Malik ibnu Abusy Syawarib, telah menceritakan kepada kami Basyir ibnu Syuraih, dari Abu Galib, dari Abu Umamah yaitu Sada ibnu Ajlan yang menceritakan, "Rasulullah Saw. pernah mengutusku kepada suatu kaum untuk menyeru mereka kepada Allah dan Rasul-Nya dan mengajarkan kepada mereka syariat Islam. Lalu aku datang kepada mereka. Ketika kami sedang bertugas, tiba-tiba mereka datang membawa sepanci darah yang telah dimasak manis, kemudian me­reka mengerumuninya dan menyantapnya. Mereka berkata, 'Kemarilah hai Sada, makanlah bersama kami'." Sada berkata, "Celakalah kalian, sesungguhnya aku datang kepa­da kalian dari seseorang Nabi yang mengharamkan makanan ini atas kalian, maka terimalah larangan darinya ini." Mereka bertanya, "Apa­kah hal yang melarangnya?" Maka aku Sada membacakan kepada mereka ayat ini, yaitu firman-NyaDiharamkan bagi kalian memakan bangkai dan darah., hingga akhir ayat. Al-Hafiz Abu Bakar ibnu Murdawaih meriwayatkannya melalui hadis Ibnu Abusy Syawarib berikut sanadnya dengan lafaz yang semisal. Ia menambahkan sesudah konteks ini bahwa Sada melanjutkan kisah­nya, "Maka aku bangkit mengajak mereka untuk masuk Islam, tetapi mereka membangkang terhadapku, lalu aku berkata, 'Celakalah kalian ini, berilah aku air minum, karena sesungguhnya aku sangat haus.' Saat itu aku memakai jubah 'abayah-ku. Mereka menjawab, 'Kami ti­dak mau memberimu air minum dan kami akan biarkan kamu hingga mati kehausan.' Maka aku menderita karena kehausan, lalu aku tutupkan kain 'abayah-ku ke kepalaku dan tidur di padang pasir di panas yang sangat terik. Dalam tidurku aku bermimpi kedatangan se­seorang yang datang membawa sebuah wadah dari kaca yang sangat indah dan belum pernah dilihat oleh manusia. Di dalam wadah itu ter­dapat minuman yang manusia belum pernah merasakan minuman yang selezat itu. Lalu orang tersebut menyuguhkan minuman itu ke­padaku dan aku langsung meminumnya. Setelah selesai minum, aku terbangun. Demi Allah, aku tidak merasa kehausan lagi dan tidak per­nah telanjang tidak berpakaian lagi sesudah mereguk minuman ter­sebut."Imam Hakim meriwayatkannya di dalam kitab Mustadrak-nya, dari Ali ibnu Hammad, dari Abdullah ibnu Ahmad ibnu Hambal, te­lah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Salamah ibnu Ayyasy Al-Amiri, telah menceritakan kepada kami Sadaqah ibnu Haram, dari Abu Galib, dari Abu Umamah, lalu ia menuturkan hadis yang semi­sal. Menurut riwayat ini ditambahkan sesudah kalimat "sesudah me­reguk minuman tersebut" hal berikut, yaitu "Maka aku Sada men­dengar mereka mengatakan, 'Orang yang datang kepada kalian ini da­ri kalangan orang hartawan kalian. Mengapa kalian tidak menyuguh­kan minuman susu dan air kepadanya?" Maka mereka menyuguhkan minuman air susu yang dicampur dengan air, dan aku katakan kepada mereka, 'Aku tidak memerlukannya lagi. Sesungguhnya Allah telah memberiku makan dan minum.’ lalu aku perlihatkan kepada mereka perutku, hingga semuanya percaya bahwa aku telah kenyang."Firman Allah Swt....dan daging baik yang jinak maupun yang liar. Pengertian lahm mencakup semua bagian tubuh babi, hingga lemaknya. Dalam hal ini tidak di­perlukan pemahaman yang 'sok pintar' dari kalangan mazhab Zahiri dalam kestatisan mereka menanggapi ayat ini dan pandangan mereka yang keliru dalam memahami makna firman-Nya—karena sesungguhnya semua itu kotor—atau binatang. Al An'am145Dalam konteks firman-Nyakecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi —karena sesungguhnya semuanya itu kotor— Al An'am145Mereka merujukkan damir yang ada pada lafaz fainnahu kepada lafaz khinzir dengan maksud agar mencakup semua bagian tubuhnya. Pada­hal pemahaman ini jauh dari kebenaran menurut penilaian lugah ba­hasa, karena sesungguhnya damir itu tidak dapat dirujuk kecuali ke­pada mudaf, bukan pengertian lahiriah, kata daging’ mempunyai pengertian yang mencakup semua anggota tubuh dalam terminologi bahasa, juga menurut pengertian tradisi yang dalam kitab Sahih Muslim disebutkan dari Buraidah ibnul Khasib Al-Aslami yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. per­nah bersabdaBarang siapa yang bermain nartsyir karambol, maka seakan-akan mencelupkan tangannya ke dalam daging dan darah kata lain, bilamana peringatan ini hanya sekadar menyentuh, maka dapat dibayangkan kerasnya ancaman dan larangan bila mema­kan dan menyantapnya. Di dalam hadis ini terkandung makna yang menunjukkan mencakup pengertian daging terhadap semua anggota tubuh, termasuk lemak dan dalam kitab Sahihain disebutkan bahwa Rasulullah Saw. per­nah bersabdaSesungguhnya Allah mengharamkan jual beli khamr. bangkai, daging babi, dan berhala. Maka diajukan pertanyaan, "Wahai Rasulullah, bagaimanakah menu­rutmu tentang lemak bangkai? Karena sesungguhnya lemak bangkai dipakai sebagai dempul untuk melapisi perahu dan dijadikan sebagai minyak untuk kulit serta dipakai sebagai minyak lampu penerangan oleh orang-orang," Rasulullah Saw. menjawab Jangan, itu tetap dalam kitab Sahih Bukhari melalui hadis Abu Sufyan disebutkan bahwa Abu Sufyan mengatakan kepada Heraklius, Raja Romawi, "Beliau Nabi Saw. melarang kami memakan bangkai dan darah." Firman Allah Swt....dan daging hewan yang disembelih atas nama selain hewan yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah, hewan tersebut menjadi haram. Karena Allah Swt mengharuskan bila makhluk-Nya disembelih agar disebut asma-Nya Yang karena itu, manakala hal ini disimpangkan diselewengkan dan disebutkan pada hewan tersebut nama selain Allah ketika hendak me­nyembelihnya, misalnya nama berhala atau tagut atau wasan atau makhluk lainnya, maka sembelihan itu hukumnya haram menurut ke­sepakatan ulama hanya berselisih pendapat mengenai tidak membaca tasmiyah Basmalah dengan sengaja atau lupa, seperti yang akan di­terangkan nanti dalam tafsir surat Al-An' bahwa telah menceritakan kepada kami Harun ibnu Abdullah, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Mas-'adah, dari Auf, dari Abu Raihanah, dari Ibnu Abbas yang mengata­kan Rasulullah Saw. melarang memakan daging dari pertandingan orang-orang Badui menyembelih ternak Imam Abu Daud mengatakan bahwa Muhammad ibnu Ja'far yaitu Gundar me-mauquf-kan hadis ini pada Ibnu Abbas. Hadis diriwayatkan oleh Imam Abu Daud secara Abu Daud mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Harun ibnu Zaid ibnu Abuz Zarqa, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Jarir ibnu Hazim, dari Az-Zubair ibnu Hurayyis yang mengatakan bahwa ia pernah mende­ngar Ikrimah mengatakan Sesungguhnya Rasulullah Saw. melarang memakan makanan hasil pertandingan menyembelih yang dilakukan oleh orang-orang yang Abu Daud mengatakan bahwa kebanyakan orang yang meriwayatkannya selain Ibnu Jarir tidak menyebutkan pada sanad­nya nama Ibnu Abbas. Hadis ini diriwayatkan secara munfarid pula. Firman Allah Swt....dan hewan yang hewan ternak yang mati tercekik, baik disengaja ataupun karena kecelakaan, misalnya tali pengikatnya mencekiknya karena ulahnya sendiri hingga ia mati, maka hewan ini haram lafaz mauquzah artinya hewan yang mati dipukuli dengan benda berat, tetapi tidak tajam. Menurut Ibnu Abbas dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang, mauauzah ialah hewan yang dipukuli de­ngan kayu hingga sekarat, lalu mengatakan, orang-orang Jahiliah biasa memukuli hewannya dengan tongkat sampai mati, lalu mereka dalam kitab sahih disebutkan bahwa Addi ibnu Hatim pernah bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku membidik hewan bu­ruan dengan lembing dan mengenainya." Rasulullah Saw. bersabdaApabila kamu melempar buruan dengan lembingmu, lalu menu­suknya, maka makanlah. Jika yang mengenainya adalah bagian sampingnya, sesungguhnya hewan buruan itu mati terpukul, maka janganlah kamu hal ini dibedakan antara sasaran yang dikenai oleh anak panah dan tombak serta sejenisnya, yakni dengan bagian yang tajamnya, maka hukumnya halal. Sedangkan hewan yang dikenai oleh bagian sampingnya maka hewan itu dihukumi mati karena terpukul, sehingga tidak halal. Demikianlah yang disepakati di kalangan ulama fiqih."Aku bertanya, 'Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami akan bersua dengan musuh besok, sedangkan kami tidak mempunyai pisau. Bolehkah kami menyembelih dengan aasab welat bambu'?" Rasulullah Saw. menjawab Apa saja yang dapat mengalirkan darah dan disebutkan asma Allah ketika menyembelihnya, maka makanlah sembelihan itu oleh secara lengkapnya terdapat di dalam kitab ini sekalipun dinyatakan karena penyebab yang khusus, tetapi hal yang dianggap ialah keumuman lafaznya menurut jumhur ulama usul dan ulama fiqih. Perihalnya sama dengan suatu pertanyaan yang pernah diajukan kepada Nabi Saw. mengenai al-bit'u, yaitu mi­numan nabiz yang terbuat dari madu. Beliau Saw. menjawab melalui sabdanyaSemua jenis minuman yang memabukkan hukumnya adakah seorang ahli fiqih yang mengatakan bahwa lafaz ini hanya khusus berkaitan dengan minuman madu? Perihalnya sama saja ketika mereka bertanya kepada Nabi Saw. tentang suatu sembelihan. Beliau menjawab mereka dengan kata-kata yang mengandung makna umum yang membuat si penanya —juga yang lainnya— berpikir mencernanya, mengingat Nabi Saw. telah dianugerahi jawami'ul hal ini telah jelas, maka binatang buruan yang ditabrak oleh anjing pemburu atau yang ditindihinya dengan berat badannya hingga mati bukan termasuk hewan yang dialirkan darahnya. Ka­rena itu, hewan buruan tersebut tidak halal. Demikianlah makna yang terkandung di dalam hadis dikatakan bahwa hadis yang dimaksud sama sekali bukan termasuk ke dalam bab ini, karena mereka menanyakan kepada Nabi Saw. tentang alat yang dipakai untuk menyembelih, dan mereka tidak menanyakan tentang sesuatu yang disembelih. Karena itulah di­kecualikan dari alat tersebut gigi dan kuku. Hal ini diungkapkan me­lalui sabdanyaTidak boleh memakai gigi dan kuku, aku akan menceritakan ke­pada kalian mengenainya. Adapun gigi berasal dari tulang, dan kuku adalah pisau orang-orang mustasna menunjukkan jenis dari mustasha minhu. Jika ti­dak demikian, berarti tidak muttasil berkaitan. Dengan demikian, maka hal ini menunjukkan bahwa yang ditanyakan adalah alatnya, se­hingga tidak ada dalil bagi apa yang Anda jawabannya dapat dikatakan bahwa di dalam alasan yang Anda kemukakan terkandung hal yang sulit Anda cerna, mengingat sabda Nabi Saw. mengatakanAlat apa saja yang dapat mengalirkan darah dan disebutkan as­ma Allah padanya, maka makanlah oleh kalian sembelihan hadis ini tidak disebutkan, "Maka sembelihlah hewan itu de­ngan alat tersebut." Dengan demikian, berarti dari hadis ini dapat disimpulkan dua hukum sekaligus, yaitu mengenai hukum alat yang dipakai untuk menyembelih dan hukum hewan yang disembelih, darah­nya harus dialirkan dengan alat yang bukan berupa gigi, bukan pula kuku. Ini adalah suatu yang kedua menurut cara Al-Muzanni, yaitu masalah anak panah dijelaskan padanya, bahwa jika binatang buruan terkena bagian sampingnya kayunya, tidak boleh dimakan, jika tertembus oleh anak panahnya, boleh dimakan. Sedangkan dalam masalah an­jing pemburu disebutkan secara mudak, karena itu masalahnya diin­terpretasikan dengan rincian yang ada pada masalah anak panah, yaitu yang menembus sasarannya. Karena kedua masalah tersebut mempu­nyai persamaan pada subyeknya, yaitu binatang buruan, untuk itulah wajib dalam masalah ini disamakan dengan masalah anak panah, se­kalipun penyebabnya berbeda. Perihalnya sama dengan wajib meng­artikan mutlaknya merdeka dalam masalah zihar terhadap masalah keterikatan merdeka dengan sumpah dalam masalah pembunuhan. Bahkan dalam masalah yang sedang kita bahas ini lebih utama, hal ini akan dimengerti oleh orang yang memahami kaidah asal pokok mengenainya secara apa adanya. Kaidah ini tiada yang memperselisihkannya di antara para ulama yang bersangkutan secara menyelu­ruh. Sudah merupakan suatu keharusan bagi mereka menanggapi ma­salah ini. Seseorang boleh mengatakan bahwa hewan buruan ini dibu­nuh oleh anjing pemburu dengan berat badannya, maka hewan buruan ini tidak halal karena dikiaskan kepada masalah hewan buruan yang terbunuh oleh bagian samping anak panah yakni terpukul olehnya. Kesamaan yang ada dalam kedua masalah ialah masing-masing dari keduanya menggunakan alat berburu, sedangkan binatang buruan ma­ti karena beratnya alat dalam masing-masing kasus. Hal ini tidak ber­tentangan dengan keumuman makna ayat mengenainya, karena kias didahulukan atas keumuman makna, seperti yang dianut oleh mazhab para imam yang empat dan jumhur ulama. Analisis ini dinilai baik lainnya mengatakan bahwa firman Allah Swt. yang me­ngatakanMaka makanlah dari apa yang ditangkapnya untuk kalian. Al Maidah4Mengandung makna yang umum mencakup hewan buruan yang mati karena luka atau lainnya. Tetapi hewan yang terbunuh dengan cara tersebut dan masih diperselisihkan kehalalannya, tidak terlepas adaka­lanya mati karena tertanduk atau cara lain yang sama hukumnya, atau tercekik, atau cara lain yang sama keadaan bagaimanapun wajib memprioritaskan ayat ini atas dalil-dalil lainnya, karena alasan-alasan berikutPertama, Pentasyri' menetapkan hukum ayat ini dalam kasus perburuan. yaitu ketika beliau mengatakan kepada Addi ibnu Hatim, Dan Jika hewan buruan itu terkena oleh bagian sampingnya, sesungguhnya hewan itu sama dengan mati karena terpukul. Maka janganlah kamu memakannya!"Kami belum pernah mengetahui ada seorang ulama yang memi­sahkan antara suatu hukum dengan hukum ayat ini, lalu ia mengata­kan bahwa sesungguhnya hewan yang mati terpukul dapat dimakan bila merupakan hasil dari perburuan, sedangkan kalau yang tertanduk tidak dapat dimakan. Dengan demikian, berarti pendapat memboleh­kan hal yang diperselisihkan kehalalannya melanggar kesepakatan ijma', bukan sebagai orang yang mendukung ijma', dan hal ini dila­rang menurut kebanyakan bahwa firman-Nya yang mengatakanMaka makanlah dari apa yang ditangkapnya untuk mengandung makna yang umum secara ijma', melainkan di­khususkan bagi hewan buruan yang dapat dimakan dagingnya. Dike­cualikan dari keumuman makna lafaznya hewan yang tidak boleh di­makan, menurut kesepakatan ulama. Sedangkan pengertian umum yang telah dikenal harus lebih didahulukan daripada yang tidak di­ lain mengatakan bahwa binatang buruan seperti itu sama hukumnya dengan bangkai, karena darahnya tertahan, begitu pula cairan lainnya yang mengikutinya, maka hukumnya tidak halal karena dikiaskan kepada lainnya mengatakan bahwa ayat tahrim yang mengata­kanDiharamkan bagi kalian bangkai., hingga akhir ayatbersifat muhkam, tidak ada nasakh, dan tidak ada takhsis yang mema­sukinya. Demikian juga selayaknya ayat tahlil bersifat muhkam pula. Yang dimaksud dengan ayat tahlil ialah firman Allah Swt.Mereka menanyakan kepadamu, "Apakah yang dihalalkan bagi mereka?" Katakanlah, "Dihalalkan bagi kalian yang baik-baik." Al Maidah4, hingga akhir selayaknya tidak boleh ada pertentangan di antara keduanya secara mendasar, dan datanglah peran sunnah yang menjelaskan hal buktinya ialah disebutkan dalam kisah berburu memakai anak panah hukum yang termasuk ke dalam makna ayat ini, yaitu bila hewan buruan tersebut tertembus oleh anak panah, maka hukumnya halal karena termasuk ke dalam pengertian tayyibat yang baik-baik. Sedangkan dalam waktu yang sama ada pula pada hadis ini pengerti­an yang termasuk ke dalam hukum ayat tahrim. Yaitu bilamana he­wan buruan mati terkena bagian sampingnya, maka ia tidak boleh dimakan, karena sama saja dengan mati terpukul. Dengan demikian, masalahnya termasuk ke dalam salah satu dari rincian makna ayat pula sudah seharusnya disamakan hukum hewan buru­an yang dilukai oleh anjing pemburu, maka hewan buruan tersebut termasuk ke dalam hukum ayat tahlil. Jika tidak dilukai, melainkan ditabrak —atau binatang buruan mati karena tertanduk— atau hal lainnya yang sama hukumnya, maka hewan buruan tersebut tidak ditanyakan, "Mengapa tidak ada rincian dalam hukum ber­buru memakai anjing pemburu? Tetapi menurut kalian, bila hewan buruan dilukai, hukumnya halal, dan bila tidak dilukai, hukumnya haram?"Sebagai jawabannya dapat dikatakan bahwa hal tersebut jarang, mengingat anjing pemburu selalu membunuh hewan buruannya de­ngan kuku atau dengan taring atau dengan keduanya. Sedangkan de­raan cara menabrak hewan buruannya, hal ini jarang sekali terjadi. Jarang pula terjadi anjing pemburu membunuh hewan buruannya dengan menindihnya. Karena itu, tidak diperlukan adanya pengecualian hal seperti itu, mengingat kejadiannya sangat langka. Atau memang masalahnya sudah jelas hukumnya bagi orang yang mengetahui ha­ramnya bangkai, hewan yang mati tercekik, hewan yang mati terpu­kul, hewan yang mati jatuh dari ketinggian, dan hewan yang mati ka­rena tertanduk. Mengenai masalah berburu memakai anak panah tombak, ada­kalanya si pelempar pemburu melenceng bidikannya karena kurang pandai atau sengaja bermain-main atau karena lain-lainnya, bahkan kelirunya lebih banyak daripada mengenai buruannya. Karena itulah masing-masing hukumnya disebutkan secara itulah anjing pemburu itu adakalanya memakan sebagian binatang buruannya. Maka disebutkan hukumnya secara rinci, yaitu apabila anjing pemburu memakan sebagian dari binatang buruannya. Untuk itu Nabi Saw. bersabdaJika anjing itu memakannya, maka janganlah kamu makan, kare­na sesungguhnya aku merasa khawatir bila anjing itu menang­kap buruan untuk dirinya sendiri bukan untuk tuan yang mele­paskannya.Hadis ini sahih dan terdapat di dalam kitab Sahihain. Hukum yang di­sebutkan dalam hadis ini pun merupakan takhsis dari keumuman makna ayat tahlil menurut kebanyakan ulama. Mereka mengatakan, tidak halal hasil buruan yang anjing pemburunya memakannya. De­mikian riwayat yang bersumber dari Abu Hurairah dan Ibnu Abbas. Hal yang sama dikatakan oleh Al-Hasan, Asy-Sya'bi, dan An-Nakha'i. Pendapat ini pulalah yang dipegang oleh Imam Abu Hanifah dan kedua temannya, juga Imam Ahmad ibnu Hambal dan Imam Syafii menurut pendapat yang terkenal Jarir meriwayatkan di dalam kitab tafsirnya, dari Ali, Sa'id, Salman, dan Abu Hurairah, Ibnu Umar serta Ibnu Abbas radhiyallahu anhum, bahwa binatang buruan boleh dimakan sekalipun anjing pem­burunya memakan sebagian darinya. Hingga Sa'id, Salman, dan Abu Hurairah serta lain-lainnya mengatakan bahwa hewan buruan masih boleh dimakan sekalipun tiada yang tersisa kecuali hanya sepotong daging ini dipegang oleh Imam Malik, dan Imam Syafii dalam qaul qadim-nya mengatakan masalah ini. Tetapi dalam qaul jadid-nya. hanya mengisyaratkan kepada dua pendapat Demikian itu kata Imam Abu Nasr ibnu Sabbag dan lain-lainnya dari kalangan teman-teman­nya. Imam Abu Daud telah meriwayatkan dalam pendapatnya yang didasari dengan hadis yang bersanadkan jayyid lagi kuat dari Abu Sa'labah Al-Khusyani, dari Rasulullah Saw. Disebutkan bahwa Ra­sulullah Saw. pernah bersabda mengenai anjing pemburuApabila kamu melepaskan anjing pemburumu dan kamu menye­butkan nama Allah, maka makanlah hasil buruannya, sekalipun anjingmu memakan sebagian darinya, dan makan pulalah apa yang kamu tarik dengan Nasai meriwayatkannya pula melalui hadis Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa seorang Arab Badui yang dikenal dengan nama Abu Sa'labah bertanya.”Wahai Rasulullah," lalu ia me­nyebutkan hadis yang ibnu Jarir mengatakan di dalam kitab tafsirnya, telah menceritakan kepada kami Imran ibnu Bakkar Al-Kala'i, telah men­ceritakan kepada kami Abdul Aziz ibnu Musa yaitu Al-Lahuni, te­lah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Dinar yakni At-Tahii. dari Abu Iyas yaitu Mu'awiyah ibnu Qurrah, dari Sa'id ibnul Musayyab, dari Salman Al-Farisi, dari Rasulullah Saw. yang telah bersabda Bilamana seorang lelaki melepaskan anjing pemburunya terha­dap hewan buruan, lalu anjing dapat menangkapnya dan mema­kan sebagian dari hewan buruannya, maka hendaklah ia mema­kan sisanya. Kemudian Ibnu Jarir menganalisis hadis ini, bahwa hadis ini telah di­riwayatkan oleh Qatadah dan lain-lainnya, dari Sa'id ibnul Musayyab, dari Salman secara pendapat jumhur ulama, mereka mendahulukan hadis Addi atas hadis ini, dan mereka menganggap daif hadis Abu Sa'labah dan sebagian ulama ada yang mengulasnya, jika anjing pem­buru memakan hewan buruannya sesudah lama menunggu tuannya dan ternyata masih belum datang juga, lalu ia memakannya karena la­par dan faktor lainnya, maka hewan buruan tersebut hukumnya tidak mengapa halal, demikianlah rinciannya secara panjang lebar. Kare­na dalam keadaan seperti itu tidak dikhawatirkan bahwa anjing terse­but menangkap hewan buruannya hanya untuk dirinya sendiri. Lain halnya jika anjing pemburu memakannya begitu dia menangkap he­wan buruannya, dalam keadaan seperti ini tampak jelas bahwa dia menangkap hewan buruan itu untuk dirinya burung-burung pemangsa —menurut nas Imam Syafii— sama hukumnya dengan anjing pemburu. Dengan kata lain. haram hukumnya bila ia memakannya, menurut jumhur ulama, dan tidak haram, menurut ulama dari kalangan teman kami memilih pendapat yang mengatakan tidak haram memakan hasil buruan burung pemangsa yang telah dimakan sebagiannya oleh burung yang memangsanya dan hewan pemburu lainnya. Pendapat ini dikatakan oleh mazhab Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad. Mereka mengatakan bahwa dikata­kan demikian karena tidak mungkin mengajari burung pemangsa seperti mengajari anjing pemburu, misalnya memakai sarana pemukul dan sarana lainnya yang digunakan untuk mengajari anjing. Lagi pula burung pemangsa yang dijadikan hewan pemburu tidak mengetahui melainkan dia memakan sebagian dari binatang buruannya, karena itu keadaannya dimaafkan. Nas yang ada hanyalah menyebutkan rincian tentang anjing pemburu, bukan burung Abu Ali mengatakan di dalam kitab Ifsah-nya, jika kita katakan haram memakan hewan buruan yang telah dimakan oleh an­jing pemburu sebagiannya, maka dalam masalah hewan buruan yang dimakan oleh burung pemburu ada dua pendapat. Tetapi Abut Tayyib Al-Qadi menolak adanya rincian dan urutan ini pada nas Imam Syafii yang menunjukkan adanya persamaan di antara dimaksud dengan mutaraddiyah ialah hewan yang jatuh dari ketinggian atau tempat yang tinggi, lalu mati, hukumnya tidak ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa mutaraddiyah ialah hewan yang jatuh dari atas mengatakan bahwa mutaraddiyah ialah hewan yang jatuh ke dalam mengatakan bahwa mutaraddiyah ialah hewan yang ja­tuh dari bukit atau terperosok ke dalam sumur yang dalam, lalu artinya hewan yang mati karena ditanduk oleh hewan lainnya, maka hewan ini haram hukumnya, sekalipun terluka oleh tanduk dan darahnya keluar, sekalipun dari bagian ber-wazan fa'ilah. sedangkan maknanya maf'ulah,yakni hewan yang ditanduk. Bentuk lafaz ini kebanyakan di ka­langan orang-orang Arab dalam pemakaiannya tidak memakai huruf ta ta-nis. mereka mengucapkannya 'ainun kahllun mata yang bercelak, kaffun khadibun tangan yang memakai pacar. Mereka tidak mengucapkannya kaffun khadibah, tidak pula 'ainun kahilah. Dalam lafaz ini sebagian kalangan ahli Nahwu mengatakan bahwa sesung­guhnya pemakaian ta ta-nis dalam lafaz ini tiada lain karena dikategorikan ke dalam isim, sama halnya dengan perkataan mereka tariqa-tun tawilah jalan yang panjang.Sebagian lain dari kalangan ahli Nahwu mengatakan bahwa se­sungguhnya pemakaian ta ta-nis dalam lafaz ini hanyalah untuk me­nunjukkan arti ta-nis sejak pemakaian semula, lain halnya dengan lafaz 'ainun kahilun dan kaffun khadibun, karena ta ta-nis telah dime­ngerti dari permulaan Allah Swt....dan yang diterkam binatang hewan yang diterkam oleh singa atau harimau atau macan tutul atau oleh serigala atau oleh anjing liar, lalu dimakan sebagiannya dan mati, maka hewan tersebut haram hukumnya, sekalipun telah mengalir darahnya, dan yang dilukai pada bagian penyembelihannya, hukumnya tetap tidak halal menurut orang-orang Jahiliah memakan lebihan dari apa yang dimangsa oleh binatang pemangsa, baik yang dimangsa itu kambing, atau unta atau sapi atau ternak lainnya. Kemudian Allah Swt. meng­haramkan hal itu bagi kaum Allah Swt....kecuali yang sempat kalian menyembelihnya,Istisna dalam lafaz ayat ini kembali kepada apa yang mungkin pe­ngembaliannya dari hal-hal yang telah ditetapkan menjadi penyebab kematiannya, lalu sempat ditanggulangi dengan menyembelihnya, se­dangkan hewan yang dimaksud masih dalam keadaan hidup yang sta­bil. Tempat kembali dari istisna ini tiada lain hanyalah pada firman-Nyahewan yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk dan yang diterkam binatang ibnu AbuTalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya...Kecuali yang sempat kalian menyembelihnya., Yakni kecuali hewan-hewan tersebut yang kalian sempat menyem­belihnya, sedangkan pada tubuhnya masih terdapat rohnya. Maka ma­kanlah oleh kalian, karena hewan tersebut sama hukumnya dengan yang disembelih. Hal yang sama diriwayatkan dari Sa'id ibnu Jubair, Al-Hasan Al-Basri, dan Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Hafs ibnu Gayyas, telah menceritakan kepada kami Ja'far ibnu Muhammad, dari ayahnya, dari Ali sehubungan dengan ayat ini, bahwa jika hewan yang dimaksud masih menggerak-gerakkan telinganya, atau menendang-nendang dengan kakinya atau matanya masih melirik-lirik saat kalian menyembelihnya, maka makanlah hewan Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Qasim, telah menceritakan kepada kami Al-Husain, telah mencerita­kan kepada kami Hasyim dan Abbad, keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hajjaj, dari Husain, dari Asy-Sya'bi, dari Al-Haris, dari Ali yang mengatakan, "Jika hewan yang dipukul, yang jatuh, dan yang ditanduk masih sempat disembelih dalam keada­an masih sempat menggerak-gerakkan kaki depan atau kaki belakang­nya, maka makanlah hewan tersebut."Ibnu Wahb mengatakan bahwa Imam Malik pernah ditanya ten­tang kambing yang dirobek tubuhnya oleh binatang pemangsa hingga ususnya keluar. Imam Malik menjawab, "Menurut pendapatku, kam­bing tersebut tidak boleh disembelih, apakah manfaat penyembelihan dari kambing yang keadaannya sudah demikian?"Asyhab mengatakan bahwa Imam Malik pernah ditanya menge­nai masalah dubuk yang menerkam domba dan mematahkan pung­gungnya, "Apakah domba itu boleh disembelih sebelum ia mati, lalu dimakan?"Hai orang-orang yang beriman, diharamkan bagi kalian memakan daging bangkai binatang yang mati dengan tidak disembelih, darah yang mengalir, daging babi, binatang yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah, binatang yang mati tercekik, binatang yang mati dipukul, binatang yang mati karena jatuh, binatang yang mati ditanduk oleh binatang lain, dan binatang yang mati dimakan binatang buas. Tetapi jika binatang itu masih hidup dan halal untuk dimakan, lalu kamu menyembelihnya, maka binatang itu halal. Allah mengharamkan kepada kalian binatang yang disembelih untuk mendekatkan diri kepada berhala, mengetahui sesuatu yang telah ditentukan di alam gaib dengan cara undian dengan melempar anak panah. Memakan makanan yang telah diharamkan Allah itu adalah dosa besar dan merupakan sikap tidak patuh kepada Allah. Mulai sekarang telah pupus harapan orang kafir untuk menghapus agama kalian. Maka, jangan khawatir mereka akan dapat menguasai kalian, dan jangan berani melanggar perintah-Ku. Hari ini Aku sempurnakan hukum-hukum agama, Aku sempurnakan nikmat-Ku kepada kalian dengan memberikan kejayaan dan menguatkan pendirian kalian, dan Aku jadikan Islam sebagai agama kalian. Barangsiapa terpaksa memakan makanan yang diharamkan Allah karena alasan lapar dan demi mempertahankan diri dari kematian, dengan tidak cenderung berbuat maksiat, maka sesungguhnya Allah akan mengampuni orang yang terpaksa atas makanan yang dimakannya demi mempertahankan hidup. Allah Maha Penyayang kepadanya dalam hal-hal lain yang dibolehkan1. 1 Kematian binatang dapat disebabkan oleh ketuaan, penyakit organik, parasit, atau karena terkena racun luar yang, dengan sendirinya, mengakibatkan daging binatang itu mengandung zat yang membahayakan pemakannya. Lebih dari itu, binatang yang mati bukan karena disembelih, darahnya akan mengalami pemacetan. Keadaan seperti itu dapat berlangsung lama dan sulit diketahui dengan pasti, sehingga dapat mengakibatkan disolusi dan kerusakan. Darah merupakan saluran yang mengandung seluruh zat metabolis asimilasi yang sebagiannya bermanfaat dan yang lain berbahaya. Zat yang membahayakan itu dapat merusak anggota tubuh yang dapat menghilangkan dan mengeluarkan racun yang ada dalam tubuh. Selain itu, di dalam darah juga terdapat racun yang dikeluarkan oleh hewan-hewan parasit dalam tubuh. Di antara hewan parasit yang hidup dalam tubuh manusia itu banyak yang melalui beberapa fase, ada yang panjang dan ada juga yang pendek. Karena alasan-alasan itulah, terutama, memakan darah diharamkan. Sedangkan babi merupakan binatang yang mudah terserang hewan parasit yang menyerang tubuh manusia seperti berbagai virus, sporadis, leptoseri dan protozoa, cacing pipih dan cacing gelang. Di antara parasit yang paling berbahaya adalah a. Hewan ciliata yang diberi nama antidium-colay yang dapat menyebabkan disentri plantidi yang ganasnya sama dengan disentri amuba. Sumber satu-satunya penyakit ini adalah babi. Penyakit ini hanya akan menyerang orang yang memelihara dan menyembelih serta menjual-beli danging babi. b. Gelendong hati dan usus yang berjangkit di negara-negara Timur Jauh, khususnya gelendong usus besar yang banyak menyebar di Cina, gelendong usus kecil yang banyak berjangkit di Bangladesh, Burma dan Asam, dan gelendong hati yang banyak tersebar di Cina, Jepang dan Korea. Nah, babi merupakan binatang yang banyak menyimpan parasit-parasit ini. Oleh karena itu, pembasmian penyakit yang diakibatkan oleh parasit-parasit ini tidak dapat dilakukan hanya pada manusia penderita, tetapi juga harus sampai kepada sumber asalnya babi. c. Cacing pita yang ada dalam tubuh babi. Sel telur cacing ini berpindah dari manusia kepada babi yang melahirkan cacing ganda dalam daging babi. Cacing itu kemudian berpindah lagi kepada manusia yang memakan daging babi dan cacing pita yang hidup dan berkembang di dalam usus. Pada dasarnya penyakit ini tidak begitu berbahaya, karena hampir sama dengan cacing pita yang terdapat dalam daging sapi. Tetapi cacing pita yang terdapat dalam daging babi sangat berbeda dengan cacing pita yang ada dalam daging sapi. Apabila sel telur cacing itu tertelan oleh manusia melalui tangannya yang kotor, atau melalui makanan yang kotor, atau apabila ia memotong bagian cacing yang mengandung telur, atau memotong telur cacing dari ususnya hingga telur itu pecah dan larvanya mengena bagian otot yang bersangkutan, maka hal itu kemungkinan besar menyebabkan kematian apabila menyerang otak, urat saraf, atau hati dan organ penting lainnya. Penyakit berbahaya seperti ini hampir tidak kita dapatkan di negara-negara Islam, karena Islam telah mengharamkan memakan daging babi. d. Cacing berbentuk spiral. Terjangkitnya seseorang dengan cacing spiral yang larvanya berceceran pada otot-ototnya akan menyebabkan penyakit yang sangat berbahaya, seperti rematik, sulit mengunyah dan bernafas serta menggerakkan mata, radang otak dan jaringan urat saraf serta radang selaput otak. Penyakit urat saraf dan otak yang menyebabkan keracunan, stress dan komplikasi. Jika seseorang terkena penyakit yang mematikan ini, ia akan meninggal dunia dalam jangka waktu antara empat sampai enam minggu. Dan babi adalah penyebab utamanya. Penyakit ini banyak menyebar di Eropa, Amerika Serikat dan Amerika Selatan. Sedangkan di dunia Islam, alhamdulillah, penyakit seperti ini tidak banyak berjangkit. Usaha untuk mencegah berjangkitnya penyakit ini dilakukan dengan cara memelihara babi secara sehat dan pengobatan secara medis terhadap daging babi. Tetapi itu semua tidak membuahkan hasil. Sebagai contoh, Amerika Serikat adalah salah satu dari tiga negara terbesar di dunia yang terjangkit penyakit ini, mencapai 16%. Jumlah ini sangat jauh dari yang sebenarnya. Di negara-negara bagian Amerika Serikat persentase berjangkitnya penyakit yang disebabkan oleh babi ini berkisar antara 5%-27%. Selain itu, lemak minyak babi sangat berbeda dengan minyak nabati dan lemak hewani lainnya. Oleh karena itu, kelayakan daging babi untuk digunakan sebagai bahan makanan sangat diragukan sebagian besar ahli. Hal ini dijelaskan oleh Prof. Ram, seorang ahli kimia dari Denmark yang memperoleh hadiah nobel, bahwa seseorang tidak boleh banyak mengkonsumsi minyak babi karena akan menyebabkan penyakit empedu dan menutupi salurannya, pengerasan urat nadi dan penyakit jantung. Perlu disebutkan di sini bahwa jumhûr mayoritas ahli hukum Islam mengartikan kata "lahm" sebagai 'daging', termasuk 'lemak'. Sedangkan soal hewan yang disembelih dengan tidak menyebut nama Allah, dan hewan yang yang disembelih dengan nama berhala, berkaitan dengan persoalan ibadah. Sedang hewan yang mati tercekik, terpukul, mati ditanduk dan diterkam binatang buas, mempunyai kedudukan hukum yang sama dengan bangkai, meskipun sebab kematiannya oleh Ibnu Mandah di dalam kitab ash-Shahaabah, dari Abdullah bin Jabalah bin Hibban bin Hajar, dari bapaknya, yang bersumber dari datuknya hibban bin Hajar bahwa ketika Hibban sedang menggodok daging bangkai, Rasulullah saw. ada bersamanya. Maka turunlah ayat ini al-Maaidah 3 yang mengharamkan bangkai. Seketika itu juga isi panci itu dibuang.
membahastentang asbabun nuzul, makiyah dan madaniyah, ilmu qiraat, nasikh wa mansukh, dst. Asbabun nuzul yang menjadi latarbelakang turunnya ayat menjadi salah satu komponen yang sangat penting bagi siapapun yang ingin memahami Al-Qur'an. Belum dianggap cukup untuk memahami al Qur'an hanya berbekal bahasa arab saja, apalagi hanya membaca
Kajian Khazanah Islam kategori posting Asbabun Nuzul Pembaca budiman, Rahmat serta Bimbingan-Nya semoga selalu tercurah dan menyertai kita dalam segala aktivitas di dunia ini, untuk meraih kebahagiaan dan mengharap Ridho-Nya di Akhirat kelak. Aamiin... Uraian hari ini penulis akan mengupas Asbabun Nuzul Surat Al-Maidah Ayat 2 sampai 4, dan dibawah inilah uraiannya secara lengkap. Sebagai mukadimah saya kutipkan sedikit tentang surat Al-Maidah tersebut Surat Al-Maaidah terdiri dari 120 ayat termasuk golongan surat Madaniyyah. Sekalipun ada ayatnya yang turun di Mekah, namun ayat ini diturunkan sesudah Nabi Muhammad SAW. hijrah ke Madinah yaitu diwaktu haji Wadaa'. Surat ini dinamakan "Al-Maaidah" hidangan karena memuat kisah pengikut-pengikut setia Nabi Isa yang meminta kepada Nabi Isa agar Allah menurunkan untuk mereka Al-Maaidah hidangan makanan dari langit ayat 112. Dan dinamakan dengan Al-Uqud perjanjian, karena kata itu terdapat pada ayat pertama surat ini, dimana Allah menyuruh agar hamba-hamba-Nya memenuhi janji prasetia mereka terhadap Allah dan perjanjian-perjanjian yang yang mereka buat sesamanya. Dinamakan juga "Al Munqiqdz" yang menyelamatkan, karena akhir surat ini mengandung kisah tentang Nabi Isa penyelamat pengikut-pengikut setianya dari azab Allah SWT. Pokok-pokok isinya 1 . Keimanan Bantahan terhadap orang-orang yang mempertuhankan Nabi Isa 2. Hukum-Hukum Keharusan memenuhi perjanjian, hukum melanggar syi'ar Allah makanan yang dihalalkan dan yang diharamkan, hukum mengawini wanita ahli kitab, wudhu, tayammum mandi wajib, hukum membunuh orang, hukum mengacau dan mengganggu keamanan hukum qishas, hukum melanggar sumpah dan kaafaratnya, hukum khamar, berjudi, berkorban untuk berhala, mengundi nasib, hukum membunuh binatang waktu ihram, hukum persaksian dalam berwasiat. 3. Kisah-Kisah Kisah-kisah Nabi Musa menyuruh kaumnya memasuki Palestina, kisah Habil dan Qabil, kisah-kisah tentang Nabi Isa 4. Dan lain-lain. Keharusan bersikap lemah lembut terhadap sesam mu'min bersikap keras terhadap orang-orang kafir; penyempurnaan Agama Islam di zaman Nabi Muhammad saw. keharusan jujur dan berlaku adil, sikap dalam menghadapi berita-berita bohong ; akibat berteman akrab dengan orang yang bukan muslim, kutukan Allah terhadap orang-orang Yahudi, kewajiban rasul hanya menyampaikan agama, sikap Yahudi dan Nasrani terhadap orang Islam, Ka'bah sokoguru kehidupan manusia, peringatan Allah supaya meninggal kebiasaan Arab Jahiliyyah, larangan-larangan terhadap pertanyaan-pertanyaan yang mengakibatkan kesempitan dalam agama. Asbabun Nuzul Al-Maa-idah Ayat 2 "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syiar-syiar Allah dan janganlah melanggar kehormatan bulan-bulan Haram, jangan mengganggu binatang-binatang hadya, dan binatang-bonatang qalaa-id, dn jangan pula mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari karunia dan keridhaan dari Tuhannya, dan apabila kamu telah menyelesaikan ibdah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencian mu kepada suatu kaum kaarena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidil haram, mendorongmu berbuat aniaya kepada mereka. Dan tolong-menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya". QS Al-Maaidah 2 * Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa al-Hathum bin Hindun al-Bakri datang ke Madinah membawa kafilah yang penuh dengan makanan, dan memperdagangkannya, kemudian ia menghadap Nabi saw. untuk masuk Islam dan baiat sumpah setia. Setelah ia pulang, Nabi saw. bersabda kepada orang-orang yang ada pada waktu itu. "Bahwa ia masuk ke sini dengan muka seorang jahat dan pulang dengan punggung penghianat". Ketika orang itu sampai ke Yamamah, ia pun murtad dari Agama Islam. Pada suatu waktu pada bulan Dzul-qa'dah iapun berangkat membwa kafilah yang penuh dengan makanan menuju Makkah. Ketika sabahat Nabi saw. mendengar berita kepergiannya ke Makkah bersiaplah segolongan kaum Muhajirin dan Ansyor untuk mencegat kafilahnya. Dan atas kejadian tersebut maka turun QS Al-Maidah ayat 2, yang melarang perang pada bulan haram. Pasukan itu pun kaum muhajirin dan Ansyor tidak jadi mencegatnya. - Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Ikrimah. - Diriwayatkan pula oleh as-Suaddi seperti itu. * Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa dengan terhalangnya Rasulullah saw. dan para sahabat mengerjakan umrah di Masjidil haram di Makkah, yang menimbulkan perjanjian Hudaibiah anatara Kaum Muslimin dan Musyrikin para sahabat Nabi saw. merasa kesal karenanya. * Pada suatu hari lalulah/lewatlah orang-orang musyrikin dari ahli masyriq akan menjalankan Umrah. Berkatalah para sahabat Nabi saw, "Mari kita cegat mereka sebagaimana mereka pernah mencegat sahabat-sahabat kita". Oleh karena niatan para sahabat itu, Allah menurunkan ayat ini QS 5 2 sebagai larangan untuk membalas dendam. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Zaid bin Aslam. Asbabun nuzul Al-Maa-idah ayat 3. "Diharamkan bagimu memakan bangkai, darah, daging babi, daging hewan yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu sembelihnya, dan diharamkanbagimu yang disembelih untuk berhala. Dan diharamkan juga mengundi nasib dengan anak panah, mengundai nasib dengan anak panah itu adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk mengalahkan Agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah kusempurnakan untuk kamu Agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepada-mu ni'matKu, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu. Maka barang siapa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha penyayang". QS, 5 3. * Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa ketika Hibban sedang menggodok daging bangkai, Rasulullah saw. ada bersamanya. Maka dengan kejadian tersebut turunlah QS, 5 3 yang mengharamkan bangkai. Seketika itu juga isi panci yang ada daging bangkainya dibuang. - Diriwayatkan oleh Ibnu Mandah dalam Kitabush-Shahabah dari Abdullah bin Jabalan bin Hibban bin Hajar dari bapaknya yang bersumber dari datuknya Hibban bin Hajar. Asbabun Nuzul Al-Maa-idah ayat 4. "Mereka menanyakan kepadamu Apakah yang dihalalkan bagi mereka?. Katakanlah "dihalalkan bagimu yang baik-baik dan buruan yang ditangkap oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatihnya untuk berburu, kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu. Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu waktu melepaskannya. Dan bertakwalah kepada Allah,sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya". QS,5 4 * Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Jibril datang kepada Nabi saw. dan minta izin untuk masuk. Nabi saw. mempersilahkannya, tetapi Jibril lambat sekali, sehingga beliau mengelu-elukanya. Jibril berdiri di pintu. Lalu Jibril berkata Saya telah meminta izin kepada tuan" Rasulullah membenarkannya. Lalu Jibril berkata "Kami tak mau masuk rumah yang ada gambar dan anjing." Dengan peristiwa itu Rasulullah saw. mendapat laporan bahwa disebagian rumah sahabat terdapat anjing. Setelah itu Rasulullah saw. memerintahkan Abu Rafi' untuk tidak membiarkan seekor anjing pun hidup di Madinah. Para sahabat datang kepada Rasulullah saw. dan bertanya "Apa yang halal bagi kami dari hewan-hewan yang engkau perintahkan membunuhnya" Maka dengan adanya peristiwa tersebut turunlah ayat ini QS, 5 4 yang menerangkan bahwa yang halal itu adalah yang baik. - Diriwayatkan oleh at-Tharani, al-Hakim, Baihaqi dan lainnya yang bersumber dari Abi Rafi'. * Dalam riwyat lain dikemukakan bahwa Rasulullah saw. mengutus Abu Rafi' sampai ke kampung-kampung untuk membunuh setiap anjing. Maka datanglah Ahshim bin Adi Sa'ad bin Hatsmah dan 'Uwaimir bin Sa'adah menghadap kepada Rasulullah saw. dan bertanya "Apa yang dihalalkan bagi kami?" Maka turunlah ayat ini QS, 5 4 sebagai jawabannya. - Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Ikrimah. *Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa Rasulullah saw. memerintahkan membunuh anjing-anjing. Para sahabat bertanya "Ya Rasulullah, Apa yang halal bagi kami dari hewan ini" Maka turunlah ayat ini QS 5 4 sebagai jawabannya. - Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari Muhammad bin Ka'ab al Quradhi. * Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah saw. tentang hukum berburu dengan anjing, Rasulullah tidak mengetahui bagaimana harus menjawabnya. Maka turunlah ayat ini QS 5 4 yang menetapkan hukum berburu dengan hewan yang telah diajar berburu. - Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari as-Syu'bi yang bersumber dari Adi bin Hatim at-Thai. *Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa Adi bin Hatim dan Zaid bin al-Muhalhal, at-Tha bertanya kepada Rasulullah saw. "Kamiu tukang berburu dengan anjing, dan anjing suku bangsa Dzarih pandai berburu sapi, keledai dan kijang, padahal Allah telah mengharamkan bangkai. Apa yang halal bagi kami daripada hasil buruan itu?. Maka turunlah ayat ini QS 5 4 yang menegaskan hukum hasil buruan. - Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Sa'id bin Jubair. Baca juga yang ini xizgeDt.
  • 42rp5y2e6m.pages.dev/529
  • 42rp5y2e6m.pages.dev/520
  • 42rp5y2e6m.pages.dev/320
  • 42rp5y2e6m.pages.dev/510
  • 42rp5y2e6m.pages.dev/49
  • 42rp5y2e6m.pages.dev/360
  • 42rp5y2e6m.pages.dev/403
  • 42rp5y2e6m.pages.dev/223
  • asbabun nuzul al maidah ayat 3